Tuesday, September 25, 2007

Visit Indonesia Year 2008: Cintaku di Way Kambas

Beberapa hari yang lalu saya secara tidak sengaja menonton sebuah tayangan siaran langsung di sebuah stasiun tv nasional. Tema acara yang dibawakan oleh kementrian kebudayaan dan pariwisata adalah "tahun kunjungan Indonesia 2008, atau Visit Indonesia Year 2008". Acaranya sebenarnya membosankan dan jauh sekali dari bayangan saya. Nah, malam ini tiba-tiba saya teringat sebuah film yang pada tahun 1990-an cukup terkenal, terutama buat masyarakat Lampung, judulnya "cintaku di way kambas". Dulu seingat saya, film ini diputar di kampung-kampung melalui layar tancap di Provinsi Lampung, karena baik lokasi syuting dan cerita dalam film tersebut mengangkat nama provinsi penghasil kopi tersebut.
cuplikan film "cintaku di way kambas" (wikipedia)

Film tersebut dibintangi oleh Ira Wibowo yang menceritakan dua orang wanita, Mega (Ira) dan Intan (Rini S. Bono), yang sedang mengikuti rally mobil. Memang di tahun 1980 dan 1990-an, provinsi Lampung merupakan tempat favorit rally mobil, banyak event2 rally diselenggarakan di sana menyusul banyaknya perkebunan kelapa sawit dan karet maupun tebu yang memiliki jalan2 tracking tanah. Di awal cerita, mobil kedua wanita tersebut di hadang oleh kawanan gajah liar yang sedang melintas. Dan kebetulan di daerah tersebut sedang marak perburuan gajah untuk diambil gadingnya. Mereka akhirnya ditolong oleh Jaro seorang pelatih gajah di TN Way Kambas. Film ini memang tidak lain ingin mempopulerkan kawasan sekolah gajah tersebut kepada masyarakat Indonesia, terutama dalam rangka meningkatkan kunjungan wisata ke daerah tersebut. Kawasan wisata dan pelatihan gajah ini mengalami kejayaannya pada medio 1990-an. Dan dulu seingat saya, logo Visit Indonesia Year 1991 kalau tidak salah menggunakan gambar gajah.


Lalu apa khabar Way Kambas sekarang?

Akhir bulan Maret 2007 yang lalu, saya dan dua orang rekan berkesempatan berkunjung ke TN Way Kambas. Namun tujuan utama kunjungan kami sebenarnya bukanlah tempat pelatihan gajahnya, melainkan kawasan hutan konservasi way kanan yang juga masuk ke dalam kawasan TN Way Kambas. Hanya bedanya, jika tempat pelatihan gajah dapat dikunjung oleh masyarakat umum setiap waktu, hutan konservasi way kanan hanya bisa dikunjungi oleh orang-orang yang telah memiliki ijin khusus dari Kepala TN Way Kambas.

Dalam tulisan kali ini saya mungkin hanya akan menceritakan bagaimana kondisi Way Kanan dan Way Kambas melalui gambar-gambar hasil jepretan seorang rekan perjalanan saya.
Gambar di atas adalah pintu gerbang TN Nasional Way Kambas yang berupa pertigaan, jika mengikuti jalan utama yang berbelok ke kanan menuju pusat pelatihan gajah, maka jika lurus kita akan memasuki kawasan hutan way kanan dengan terlebih dahulu melewati sebuah pos polisi hutan (jagawana) yang disebut "plang ijo".

Buat yang suka petualangan alam liar, atau yang ingin mencoba cara berwisata yang baru, way kanan bisa menjadi salah satu alternatif. Ketika kami berkunjung kesana kebetulan ada seorang investor asal Australia yang telah bekerjasama dengan pihak setempat untuk menjadikan way kanan sebagai obyek wisata alam liar. Kalau ingin penginapan yang sedikit nyaman, tidak jauh dari plang ijo ada sebuah homestay bernama "kalpataru" yang bertarif 100rb-ab rupiah per malam, bisa untuk berkelompok 4 orang.

Jika kita melanjutkan perjalanan dengan berkendara motor dari plang ijo, kita akan menyusuri jalan kecil selebar mobil, berpasir putih padat dan batu dengan sisi kanan kiri berupa hutan hujan tropis (bekas hutan produksi). Selama menyusuri jalan tersebut kami menemui beberapa satwa liar yang melintas, seperti ayam hutan, dan burung-burung. Beberapa plang peringatan dibuat karena seringnya satwa liar yang melintas. Jika kita beruntung, kita bisa berpapasan dengan babi hutan, gajah liar, badak liar, beruang madu, tapir, kera ekor panjang, atau bahkan harimau sumatera (kalau ini kita mesti naik kendaraan mobil paling tidak). Sayang sekali dalam perjalanan tersebut kami hanya berpapasan dengan beberapa jejak dan sisa kotoran gajah .
Sekitar setengah jam kemudian, terdapat pertigaan, ke kanan merupakan wilayah Sumatran Rhino Sunctuary (SRS) atau pusat suaka badak sumatra. Disana terdapat beberapa badak yang berusaha dikembangbiakkan mengingat semakin terancamnya badak sumatra dari kepunahan. Kami menyempatkan diri berkunjung ke srs namun sayang sekali tidak berkesempatan menyaksikan badak secara langsung karena beberapa badak masih dalam proses karantina, terutama badak "andalas" yang baru saja datang dari cincinnatti, AS. Andalas saat ini menjadi ikon dan selebritis di SRS. Badak yang baru saja puber tersebut diharapkan bisa menjadi pejantan tangguh menggantikan seniornya yang gagal menghasilkan keturunan. Secara keseluruhan kompleks suaka tersebut sangat lengkap, dengan peneliti hingga dokter hewan serta pekerja dan peralatan modern, bahkan terhubung dengan internet melalui jaringan satelit.

Setengah jam berikutnya sampailah kita di kompleks resor way kanan, berupa pondokan-pondokan dan pos polisi hutan. kompleks resor ini tepat berada di samping sebuah sungai.
foto di atas adalah rumah panggung tempat kami menginap. kami hanya menginap satu malam, dengan biaya mengganti solar untuk penerangan sebesar 100rb rupiah.
bapak-bapak polisi hutan di resor way kanan sangat ramah-ramah. bahkan mereka mengajak kami berpatroli selama tiga hari di hutan....:) ajakan yang membuat kami secara spontan langsung menolak...bkan karena takut, tapi memang karena kami tidak berencana untuk menginap lebih dari satu malam.Patroli dengan speed boat, mestinya lebih menarik.Bagi yang ingin menyusuri sungai menuju muara, atau ingin menyaksikan satwa-satwa seperti buaya muara dan burung-burung di kawasan sungai, kita bisa menyewa speed boat yang tersedia disana. Dengan 400rb-an kita bisa berpetualang menuju muara yang jaraknya sekitar 80 km atau 2 jam perjalanan...Kalau kita berkelompok mungkin biaya sebesar itu tak terasa bila dibandingkan dengan pengalaman yang saya yakin pasti mengasyikkan.
Namun, ada laternatif lain jika memang kita ingin berjalan santai direrimbunan hutan, tidak jauh dari kompleks terdapat jungle track, berupa jalan setapak yang telah di pasangi blok-blok semen untuk mempermudah pejalan kaki. Dengan ditemani seorang jagawana bersenjata lengkap kita bisa menemui beberapa flora dan fauna liar dan langka selama menyusuri jalan tersebut. Jungle track ini jarak tempuhnya hanya sekitar 1 jam, dan memutar kembali ke kompleks resor. Sempat di perjalanan kami berpapasan dengan babi hutan yang mungkin sedang berkubang. Cukup membuat sedikit ngeri, tetapi jangan kuatir karena ada bapak jagawana yang siap sedia menjaga kita.Hari berikutnya, ketika kami mengakhiri petualangan di kawasan konservasi way kanan, kami menyempatkan berkunjung ke kawasan pelatihan gajah yang jaraknya sekitar setengah jam perjalanan lagi dari gerbang masuk TN Way Kambas. Memasuki kompleks sekolah gajah, kami berpapasan dengan seekor gajah kecil yang lucu dan induknya. Sorot matanya nakal, dan sepertinya tipikal gajah yang usil. Kami memberi nama anak gajah yang lucu itu "bona", entah sebesar apa bona sekarang ya....
Sekolah gajah yang ada saat ini berbeda dengan di tahun 1990-an...menyedihkan. Dulu seingat saya meskipun hari biasa, bukan hari libur, kawasan ini tetap ramai. Baik oleh turis asing maupun domestik, atau bahkan para peniliti. Namun sekarang, jika kita memasuki kawasan ini, aura nya berbeda, sangat lesu dan tidak bergairah. Banyak hal mungkin jadi penyebabnya, mulai dari mismanagement, sampai kurangnya perhatian pemerintah. Masyarakat saat ini pun begitu, objek wisata lokal atau di dalam negeri kurang dimintai oleh masyarakat kita sendiri. Banyak yang lebih memilih berwisata ke luar negeri dan menghabiskan uangnya di negeri orang. Padahal banyak hal unik dan indah di negeri ini, bahkan terlalu banyak sehingga tidak mungkin kita bisa kunjungi semua seumur hidup kita.Oya, jika bepergian ke pulau sumatera terutama Lampung, jangan lupa kunjungi pantainya. Sisakan satu hari untuk menyusuri pantai barat provinsi lampung, dari ibu kota Bandar Lampung menuju Liwa melalui Kota Agung...Selama perjalanan kita akan disuguhi pemandangan pantai yang luar biasa indah, terutama bila memasuki Liwa. Pantai barat Lampung ini berhadapan langsung dengan samudera hindia. Meskipun dekat pantai udaranya sejuk karena berupa dataran tinggi. Silahkan klik blog tetangga ini yang berisi cerita petualagan mereka di kawasan pantai barat Lampung: http://yenceu.multiply.com/photos/album/135

Ayo jalan-jalan ke Lampung!



***semua hak cipta atas foto-foto di atas ada pada Indie (www.trulyjogja.com) kecuali cuplikan foto film "cintaku di way kambas".


Thursday, September 20, 2007

waktu, kali ini berjalan sangat lambat


Perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Travel yang kutumpangi tujuan akhirnya adalah Sarinah, sebuah pusat perbelanjaan di pusat Jakarta. Tidak seperti biasanya aku melalui jalur ini, ada semacam kontrak yang harus kutandatangani di sebuah Lembaga NGO tepat di gedung seberang Sarinah.

Karena memesan cukup terlambat, terpaksa kuperoleh tempat duduk paling belakang. Namun aku sedikit beruntung, karena bangku disebelahku kosong, sementara di ujung sebelah kanan ada satu orang pria yang duduk manis lebih dulu ketika aku masuk.

Travel melaju dengan kencang di jalan Tol Cipularang Bandung-Jakarta yang lengang di tengah hari. Saat itu aku mengenakan celana pendek lapangan yang bisa berubah menjadi panjang jika diperlukan :p dan jaket outdoor favoritku, dan syukurlah AC tidak begitu dingin. Rencananya, sesampainya di Sarinah aku harus mencari toilet untuk menyaru sebagai layaknya pekerja jakarta, ber-safari.

Tengah hari dan berpuasa membuatku sedikit mengantuk. Setelah solat di kendaraan, aku berniat tidur, katanya tidurnya orang berpuasa ibadah, ah cocok sekali. Akan tetapi, ada yang aneh dengan pria disebelahku. Dari bahasa tubuhnya menunjukkan kalau dia memperhatikanku. Ada apa dengan mas ini, adakah yang aneh dengan ku? Bercelana pendek tampak kekanakankah? Ataukah karena solatku salah? Atau..jangan2 dia terkesima dengan lutut hitamku yang tak tertutupi sehelai benang pun...huehehehe....ah tidak, aku tak ingin berburuk sangka, biarpun pria ini penampilannya masuk ke dalam definisiku tentang manusia metroseksual dengan parfum yang menyebar kemana-mana, kulit putih bersih, pakaian rapi berkerah berpadu celana jeans dan sepatu kulit mengkilap, rambut hitam berminyak, serta hp nokia N-Series, aku harap dia bukan tipe "jeruk makan jeruk". Mungkin dia hanya ingin mengajak mengobrol.

Dan benar, dia rupanya melemparkan jurus pembuka yang usang..."turun di mana mas?"...Awal yang membuatku tak bisa mengelak. Obrolan pun mengalir. Makin jauh, makin aku menjangkau manusia satu ini, ada yang membuatku tak nyaman dengan pandangan matanya...:) Tiba-tiba aku ingin cepat-cepat sampai di Jakarta...

Sunday, September 16, 2007

Atap Bus (perjalanan ke Merbabu)

Hehehe....


Ini baru keren...:p

Thursday, September 13, 2007

My Life, My Adventure: Merbabu 2 (Habis)

Setelah cukup kenyang dan puas mengobrol macam-macam seputar Merbabu kami berdua kembali ke Base Camp Pak Narto tempat menitipkan tas sebelumnya. Kami disambut oleh seorang bapak-bapak yang menggendong anaknya. Ternyata Pak Narto yang dimaksud sudah tidak tinggal di rumah tersebut, yang ada kini adalah anak-anaknya. Pak Narto sendiri telah menetap di Kampar Riau, menyusul adiknya yang tampaknya telah sukses sebagai perantau disana. Aha, dunia memang selebar daun melinjo, Kampar khan tanah kelahiranku, dan jarak tempat Pak Narto ke kampung halamanku hanya bersebelahan kecamatan. Sungguh kebetulan.


Selanjutnya tepat pukul 5 sore kami bersiap mendaki. Rekan seperjalananku menitipkan laptop-nya di tempat Pak Narto (ciri masyarakat modern yang aneh, kemana-mana menenteng laptop yang gak penting untuk sebuah liburan).


Pelajaran 3: jangan membawa barang-barang yang tidak perlu dan membebankan

Di depan telah ada beberapa pendaki yang mulai berkumpul dan ada yang malah memasang dome karena baru berencana mulai mendaki malam nanti. Dan pendakian pun kami mulai.


Gunung Merbabu terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali-Jawa Tengah. Gunung Merbabu berasal dari kata “meru” yang berarti gunung dan “babu” yang berarti wanita. Jadi Merbabu mempunyai arti Gunung Wanita.

Gunung Merbabu mempunyai ketinggian 3142 meter diatas permukaan laut(mdpl) serta terdapat tiga buah puncak yakni puncak Antena atau Pasar Bubrah (2800m dpl), puncak Syarif(3119m dpl) dan puncak Kenteng Songo(3142m dpl). Merbabu memang mempunyai tantangan untuk didaki. Medan Gunung Merbabu terbuka dan berbukit-bukit.


Gunung Merbabu termasuk gunung yang tidak aktif karena t
ergolong gunungapi tua di pulau Jawa ini mempunyai lima buah kawah, yaitu: kawah Condrodimuko, kawah Kombang, kawah Kendang, kawah Rebab, dan kawah Sambernyowo.


Masyarakat disekitar Gunung Merbabu kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Itu dapat dilihat karena hutan Gunung Merbabu menjadi ladang pertanian. Selain menjadi petani penduduk sekitar ada yang menjadi porter atau pemandu sebagai kerjaan sampingan karena hasil yang diperoleh lebih menguntungkan.

Sebenarnya bila kita ingin melakukan pendakian menuju ke puncak Gunung Merbabu terdapat tiga pilihan jalur, yaitu: jalur Kopeng, jalur Selo, dan jalur Wekas. Jalur Selo juga merupakan jalur pendakian menuju puncak Gunung Merapi. Biasanya banyak pendaki memulai pendakiannya dari jalur Kopeng dan turun melalui jalur Selo atau sebaliknya. Pendakian kali ini kami berdua memilih jalur Selo karena salah satu dari kami sebelumnya pernah melalui jalur Wekas.

Mulai Base Camp Pak Narto kita akan melalui setapak hutan pinus. Kemudian memasuki hutan sekunder. Pada dasarnya akan memutari sebuah gunung kecil yang berada di sebelah kanan dan lembah disebelah kiri kita. Jalurnya sendiri cukup jelas dan tidak terlalu curam hanya saja karena ini merupakan jalur lama sehingga mulai menjadi jalur air dan sedikit licin. Total waktu pendakian melalui jalur Selo ke puncak Kenteng Songo memakan waktu 6-7 jam dan turunnya 5 jam.

Setelah kira-kira 1 jam kami mulai memasuki tempat yang terbuka, Pos 1 telah terlewati. Akhirnya kami sampai di Pos 2 sekitar pukul 7 malam. Tidak ada tanda di Pos 2 ini, hanya berupa pelataran berbentuk bukit. Di tempat ini kami menemukan pendaki lain yang rupanya sedang beristirahat di bawah tenda bivak, mereka sangat lelap, dengkurannya terdengar keras. Kami memutuskan untuk bersitirahat dan membuka dome ditempat ini, mengambil posisi yang cantik tepat menghadap kearah kota Boyolali dan Solo, semua terlihat jelas, lampu-lampu kota. Langit pun rupanya menyambut kami dengan suka cita.

Seperti biasa, ngecamp begini paling asyik jika ngobrol sambil cengar cengir dan menikmati kopi, kacang dan camilan yang sudah siap. Setelah puas ngobrol kami bersiap untuk tidur dan berencana bangun jam 11 malam untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Hampir kami larut dalam mimipi tiba-tiba serombongan pedaki datang, ramai sekali. Tapi mereka hanya istirahat sebentar dan sayup-sayup suaranya hilang ditelan angin gunung. Dingin menusuk sekujur tubuh, kami pulas tertidur. Tepat pukul 11 malam kami terbangun, dan segera membereskan dome dan peralatan.

Tiga orang pendaki dari Solo ikut bergabung dengan kami. Dari Pos 2 ini jalur menjadi terjal dan licin. Selepas jalan setapak kami tiba sebuah dataran luas yang disebut Watu Tulis, karena di sini ada sebuah batu berukuran sangat besar. Kalau siang hari pemandangan di sini sangat indah. Memang di hadapan saya saat ini ada beberapa bukit membentang. Tapi disini sangat dingin, mungkin karena angin gunung turun perlahan dan berkumpul di lembah ini.


Minggu, 9 September 2007

Dari Watu Tulis, kami harus melewati dua bukit lagi, dan tinggi-tinggi..hehehe…kami mulai lelah. Ada plus minusnya juga berjalan malam. Kami hanya dipandu oleh sorot senter. Jalurnya tidak begitu terlihat, harus ekstra hati–hati. Tapi enaknya pandangan kita terbatas, tidak bisa melihat jauh sehingga pandangan hanya fokus ke jalur. Tidak mikir macam–macam. Beda dengan siang hari, tanjakan jauh di depan sudah kelihatan, tanjakan di depan mata masih panjang.


Sekitar jam 3 pagi kami semua akhirnya tiba di sebuah lapangan rumput kecil yang disebut Savana 1. Konon Edelweis Merbabu harumnya paling wangi. Di sini rekanku mulai kehilangan semangat untuk mencapai puncak. Tapi aku hasut terus, kapan lagi coba? Jarang ada kesempatan begini.


Akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Dua bukit terlewati dan kami tiba di Savana 2. Banyak Edelweiss di sini. Pilihan lain untuk nge-camp, tempatnya lumayan lapang dan tertutup. Tidak jauh berjalan dari tempat ini kembali semangat rekanku diuji. Dia memutuskan tetap di persimpangan bukit karena terlalu lelah. Dan memilih menjaga carrier-carrier kami. Aku dipersilahkan melanjutkan mencapai puncak yang sudah terlihat jelas.


Waktu itu jam 5 pagi. Ya sunrise !..Dari atas bukit Savana 2 fajar terlihat cantik luar biasa. Apalagi Mars sang bintang fajar dan Bulan masih tampak terlihat jelas di kaki langit selatan. Subhanallah memang bagus banget, Golden time buat motret.


Puncak memang sudah dekat, satu bukit lagi kawan…ayolah, kalau aku sampai di puncak nanti aku teriaki ya? “Ok deh, kamu bawa sekalian kameraku, takut aku nggak bisa sampe lagi”. Alhamdullilah jam 6 pagi saya tiba di puncak Gunung Merbabu. Dengan dua kamera saya abadikan semua momen yang bisa saya tangkap. Dan ketika menengok kearah bawah jalur pendakian puncak, tiba-tiba saya melihat rekan saya sudah tergopoh-gopoh, aha! Sudah dekat kawan, tinggal selangkah lagi! Ayo! Dan akhirnya dia berhasil…Kami tertawa girang…


Pelajaran 4: jangan mudah menyerah!


Total waktu pendakian melalui jalur Selo ini ke puncak Kenteng Songo memakan waktu 6-7 jam. Cuaca cerah, Merbabu secara keseluruhan sangat cantik.

Jam 9 pagi memutuskan kembali turun. Dan jam 2 siang kami sudah tiba di Base Camp. Disambut nasi telor ceplok dan teh panas, wahhh lezatnya tiada tara……..Perjalanan dilanjutkan lagi dengan bus, kembali ke Jogja. Perjalanan yang melelahkan tapi juga menyenangkan.


Alhamdulillah, terimakasih untuk semuanya Tuhan. Sampai berjumpa lagi di perjalanan berikutnya.


NB: album pendakian Merbabu bisa diklik disini


Wednesday, September 12, 2007

My Life, My Adventure: Merbabu 1

Semeru ku damba, puncak Merbabu ku gapai

Waktu luang amatlah mahal. Kami yang semula berhasrat sekali ingin mendaki Semeru, berubah menjadi Bromo, dan tiba-tiba berbelok ke Merbabu, ceritanya terlalu sederhana untuk dituliskan. Lebih mirip kata-kataku kepada seorang teman, "perjalanan yang tanpa tujuan" sepertinya kali ini menjadi kenyataan.


Sabtu, 8 September 2007

Setelah repacking dan mengecheck segala peralatan sejenak, kami kemudian menuju terminal Giwangan Jogja, ditemani dua orang teman yang semula ingin ikut namun membatalkannya secara tiba-tiba tepat ketika kami sampai di terminal. Tapi itu tdak masalah buatku dan teman seperjalananku yang setia, bagi kami berdua ini soal komitmen dan waktu yang mahal tadi. Sungguh, sangat sulit mencari waktu luang seperti ini di kemudian hari.


Dari Giwangan kami naik bus “sumber kencono” jurusan Surabaya yang terkenal garang di jalanan tepat pukul 09:00. Rencananya kami akan berhenti di Mojokerto. Tujuan akhir kami adalah Bromo. M
emasuki kota Klaten, tiba-tiba HP rekanku berdering. Entah apa yang mereka bicarakan tepatnya, tapi tampak aura tak enak menyelinap dari sela-sela kaca bus ini. Wajah rekanku mengerenyit sedih dan nelangsa.


“Eh, klo di Mojokerto ada warnet nggak ya?” spontan dia bertanya setelah menutup HP nya. “Mungkin ada sih, emang kenapa?” aku balik bertanya. “Aku lupa kalo masih ada kerjaan belum selesai, dan sore ini jam 5 deadline-nya, atau di Bromo ada hotspot?”. Benar kiranya, ada yang tidak beres “Wah mana aku tahu, tapi lebih baik kita pikir2 lagi, sudah yakinkah kita ke Bromo sekarang?”

Pelajaran 1: jangan membawa pekerjaan ketika berlibur

“Gimana kalau ke Merbabu? waktu kita nggak habis di jalan, aku bisa minta diundur besok pagi atau siang kerjaanku”. “Aku sih Ok aja, lagian Merbabu lebih baik ketimbang Bromo, Bromo bkn untuk mendaki, nggak ada tantangan, dan kebetulan aku sudah pernah kesana” jawabku. Dan dimulailah segala pertimbangan untuk merubah arah perjalanan, sampai-sampai kami ngelantur membicarakan teknik-teknik bernegosiasi dalam bisnis dan pekerjaan gaya Roger Dawson.


Terminal Klaten sudah terlewati beberapa ratus meter, dan tiket bus sudah terbayar 70rb. Tiba-tiba “ya sudah kita berhenti disini aja, kita ke Merbabu!”. “Damn! Aku suka, ini baru keren, kita emang petualang sejati!” teriakku. Akhirnya kami minta bus berhenti saat itu juga. Setelah bus berlalu, kami tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, menertawakan ketololan kami sendiri. Angin semilir di Klaten menerpa wajahku, sejuk.


Bertanya sejenak kepada seorang Bapak dan istrinya angkutan menuju terminal, kami kemudian bergegas meluncur ke terminal Klaten. Ongkosnya 5rb untuk dua orang.


Sesampainya di terminal Klaten kami diarahkan oleh seorang ibu-ibu penjaja makanan untuk naik sebuah bus kecil yang menuju ke Boyolali. Tak perlu menunggu lama, akhirnya bus yang ditunggu datang juga. Beruntunglah kami bisa berbahasa jawa, basa-basi sedikit, kernet pun kami korek keterangannya tentang jalur menuju Merbabu. Sang kernet ternyata lebih bocor dari yang ku kira, dia ngajak ngobrol terus, bisa-bisa nggak dapet penumpang nanti pikirku.

Pelajaran 2: pelajari bahasa lokal, akan seperti di rumah sendiri dan pasti banyak membantu


Mas kernet menurunkan kami di sebuah perempatan sebelum terminal Boyolali, ongkos yang harus kami bayar 12rb untuk dua orang. Menurutnya disitulah banyak bus-bus kearah Selo (kota kecil di antara Merapi dan Merbabu, tempat awal pendakian).


Setelah turun, perut terasa lapar. Sebuah bus sedang ngetem menunggu penumpang. Seorang laki-laki setengah baya menawari angkutan menuju pasar Cepogo, tempat transit sebelum Selo, ongkosnya 6rb. Katanya sekarang tidak ada bus yang langsung ke Selo. Berhubung kami sudah menahan lapar, dan dia mengiming-imingi warung makan di Pasar Cepogo berderet-deret banyaknya, kami terima saja ajakannya.


Jalanan terus menanjak. Aku pribadi benar-benar menikmati perjalanan ini. Menikmati begitu beragamnya orang-orang di dalam bus, bau, dan kotornya adalah warna warni. Tidak ada yang lebih indah dari melihat senyum-senyum ramah mereka. Meski berdesakan dengan anak sekolah, bu guru, orang tua, ibu-ibu tua pedagang, bapak dan anaknya, aku segera akrab dengan suasana ini. Yang ada hanya tawa dan senyum ceria semua orang. Pernahkah kita temui suasana ini di Busway Jakarta? Impiku, semoga waktu tak tertinggal jauh untukku menikmati suasana ini lebih lama lagi.


Pasar Cepogo, kami segera menuju sebuah warung makan. Namanya Warung Makan Ngangeni. Di warung ini kami segera memesan makanan dan numpang mencharge HP dan Batere Camera. Sambil menunggu makan siap, kami mencari peralatan yang kurang, terutama senter.

Setelah membayar makan siang, dan basa-basi berterima kasih sedikit. Kami menuju antrian bus yang ngetem. “Mas mau naik di atap nggak? Coba aja, aman kok” sang sopir menawarkan. “Wah perlu dicoba nih, kayaknya seru, OK Pak” aku langsung naik ke atap bus.


Ini pertama kalinya aku naik bus, di atap. Ada ngeri sedikit, apalagi jalan yang bakal kami lalui bkan jalan raya datar, tapi bergunung-gunung dan berkelok-kelok. Hahaha, bukankah ini yang kami cari. Dan terbukti ternyata mengasikkan. Apalagi melihat tiga orang anak sekolah yang juga naik di atap begitu berani turun dari tangga meski bus masih melaju. Aku langsung membayangkan, dulu waktu aku kecil aku juga tak takut apapun. Mengapa orang dewasa lebih takut dan cenderung mudah khawatir ya?


Setelah menikmati perjalanan yang mendebarkan dan pemandangan yang indah di kanan kiri jurang, kemudian sampailah kami di kawasan wisata Selo Pass. Kami berhenti di sebuah warung, milik Bu Menik yang ramah dan putrinya yang lucu setelah membayar ongkos 6rb. Di warung Bu Menik kami lengkapi logistik kami yang kurang. Bu Menik bercerita kalau banyak pendaki yang mampir ke warungnya, bahkan tengah malam ketika warungnya telah tutup kerap ia ditelpon oleh pendaki yang butuh logistik.

Setelah ngobrol beberapa menit, kami bermaksud melanjutkan perjalanan menuju Base Camp dengan berjalan kaki. Namun kami beristirahat sejenak di sebuah Masjid di samping Pos Polisi Selo tepat di seberang warung Bu Menik. Setelah Solat dan repacking. Kami langsung menuju Base Camp.

Berpapasan dengan orang-orang yang lewat, sungguh nyaman. Mereka ramah-ramah. Meskipun membawa beban mereka tetap menyapa dengan halus.

Tampak Merapi di selatan.

Dan sampailah kami di Base Camp Pak Narto. Rumah terakhir di ujung Desa. Tempat para pendaki beristirahat dan menyiapkan diri sebelum benar-benar memulai pendakian. Rupanya pemilik rumah tidak di tempat. Rekanku sudah mulai lapar lagi, mungkin karena udara dingin membuat kami mudah lapar. Akhirnya kami mencari warung lain, rumah pak Patman yang juga menjadi base camp rupanya menjual makanan, nasi dan telor ceplok plus kerupuk serta teh panas, cukup enak. Sambil ngobrol-ngobrol dengan Pak Patman tentang informasi mengenai pendakian Merbabu kami mulai kedinginan, matahari rupanya hampir tergelincir di barat.

Pantangan yang harus dipatuhi pada waktu mendaki :

Jangan Mengeluh

Hindari kata-kata kotor

Hindari perbuatan mesum

Jangan melamun

Jangan buang air besar atau kecil di daerah yang dikeramatkan

Jangan memakai pakaian warna merah dan hijau


NB: album pendakian Merbabu bisa diklik disini