Tuesday, December 2, 2008

Pork Barrel Politics

Adegan seorang ibu yang menjelaskan tentang sebuah program pemberdayaan masyarakat, kemudian diselingi gambar-gambar dan pidato singkat seorang pejabat negara. Akhir-akhir ini televisi sering kali menayangkan iklan-iklan layanan masyarakat seperti itu. Entah berapa anggaran untuk pembuatan dan penayangan iklan tersebut di tv swasta, saya pikir pasti milyaran rupiah.

Dari kacamata berpikir saya yang sedikit pecah, dan tergores-gores, saya menemukan dua sesat pikir dibalik iklan-iklan tersebut. Pertama, kesia-siaan. Iklan program tersebut adalah program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menggunakan uang negara dari rakyat. Dan tentu saja pemerintah memiliki mandat dan kewajiban menggunakan uang tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai konstitusi. Sehingga sekecil apa pun uang yang dikeluarkan harus bisa dipertanggung jawabkan dalam bentuk adanya manfaat untuk masyarakat. Pertanyaannya, tanpa mengecilkan sejauh mana program tersebut telah berjalan, apa sebenarnya manfaat iklan itu sendiri untuk masyarakat kecuali hanya pemborosan. Apakah dengan menonton iklan tersebut kemudian masyarakat entas dari kemiskinan? Program pemberdayaan seperti itu menurut saya dinilai dari derajat manfaatnya bagi masyarakat
 secara factual. Masyarakatlah yang akan kemudian emmeberi apresiasi keberhasilan program. Bukan sebaliknya si pembuat program sibuk mengkampanyekan keberhasilannya sendiri.

Dari poin pertama, lahirlah sesat pikir yang kedua, munculnya kembali tradisi pork barrel politics. Pork dari Bahasa Inggris dalam artian harfiah berarti daging babi (bisa dilihat di kamus John M. Echols dan Hassan Shadily yang populer itu). Definisi umum pork barrel politics sendiri berarti kegiatan yang dimaksudkan untuk membangun dukungan politik masyarakat luas yang ditempuh oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan memperkenalkan program-program yang dibiayai dari anggaran negara. Di Jepang istilah ini lumayan populer.
Kasarnya, dibalik penayangan iklan program-program pemberdayaan masyarakat itu, munculnya pejabat atau politisi menunjukkan mereka "numpang beken". Ada kepentingan politik barangkali. Apalagi Pemilu 2009 di depan mata. Sehingga kewajiban normatif negara dalam mensejahterakan rakyatnya ditunggangi oleh warna-warna politisasi program-program kemiskinan. 

Dulu, Pak Harto juga menggunakan cara ini. Saya masih ingat gambar-gambar pak harto memotong padi, serta iklan-iklan pembangunan yang di dalamnya penuh adegan Pak Harto sedang meninjau program-program pemerintah. Saya khawatir, tidakkah penyelenggaraan program yang bersifat sementara dan kurang melembaga secara strategis dalam jangka panjang ini bisa dikatakan sebagai money politics? Usaha untuk memperoleh kepentingan politik dengan menggunakan uang, apalagi itu uang rakyat sendiri.

Mari kita tengok program-program dimaksud:
  • Bantuan Langsung Tunai (BLT) 100rb/bulan, program yang kontroversial. Pengkritik umumnya berpendapat, "kasih kail, jangan ikan!"
  • Kredit Usaha Rakyat (KUR)
  • Program Keluarga Harapan (PKH)
  • Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
  • Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM)
  • Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
  • Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (PNPM-P2KP)
Sebenarnya program-program tersebut masuk akal dan memiliki manfaat buat masyarakat secara umum.
Akan tetapi aneh rasanya, karena pemikiran saya sederhana saja, bayangkan jika kita ingin berbuat baik tapi selalu diselubungi pamrih. Duh, nggak nyaman rasanya.
Sekali lagi ini hanya soal iklan-iklannya.

Monday, December 1, 2008

Persahabatan

Tawa



Amarah




Warna-warni persahabatan