Monday, January 5, 2009

Sebesi: Sebuah Perjalanan 1

Lima belas menit pertama meninggalkan Dermaga Canti rasanya muncul penyesalan. Terbayang suasana yang nyaman di rumah, kasur, tv, makanan enak, dan tidur siang yang panjang. Bagaimana tidak, begitu masuk ke dalam kapal motor Timur Cahaya yang bermuatan sekitar 30 orang itu, goyangan ombak sudah terasa. Angin berhembus dari barat kencang sekali. Di kejauhan, buih putih gelombang air laut terlihat beriak-riak. Ya, perjalanan 1,5 jam ini akan terasa sangat lama dan panjang.

Benar saja, sekitar 1 mil dari Dermaga Canti, Timur Cahaya harus berjuang melawan gelombang yang datang dari arah depan. "Nanjak", dalam istilah orang-orang pulau Sebesi. Maksudnya kapal dalam posisi menanjak, melawan arus gelombang. Terlihat sang nahkoda berusaha mengendalikan kapalnya dengan lincah. Menghitung ombak dengan rumus 5-3, lima ombak besar pasti disusul tiga ombak kecil, itu kata mereka. Sementara itu, badan kapal yang terhempas seperti dibanting-banting, sehingga bunyi kayu gemretak terdengar ngeri. Ngeri kalau saja kapal penuh penumpang dan barang-barang ini serta beberapa sepeda motor di atasnya pecah.

Di saat demikian, dua orang tak tahu diri, yang merasa orang kota tertawa-tawa kegirangan. Bukan apa-apa, dibalik tawa itu ada rasa takut juga, ada rasa mual, ada rasa sesal. Tapi yang kuat ada rasa tantangan, puncak andrenalin yang mengental sepertinya. Makin tinggi gelombang, makin seru. Dan akhirnya teguran itu datang juga. "Mas, mas, jangan malah ketawa-ketawa. Berdoa!" ujar salah satu penumpang. Kaget, tentu saja, diperingatkan oleh penduduk lokal adalah sebuah fatwa haram yang harus dipatuhi. Sebagai pendatang yang baik prinsipnya tetap saja ungkapan lama "dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung".

Dua orang anak, satu bapak-bapak, dan satu orang ibu muntah dengan suksesnya. Semua terdiam, beberapa orang komat-kamit entah membaca doa atau lainnya. Namun, kami tersadar sedikit, ini memang di luar kewajaran sepertinya. Hujan yang ikut mendramatisir suasana tambah tidak enak. Dari jendela bisa terlihat gelombang susul menyusul hampir setinggi kapal. Kapal miring, membuat kami melorot kesamping dan harus berpegangan. Tuhan, saat itu juga aku ingat Dirimu.

Inilah kami, dua orang pencari sunyi, yang disesatkan oleh dua orang lain yang dua hari sebelumnya telah mengalami hal yang sama dan bahkan cukup heroik melawan angin barat dengan perahu jukung kecil..hahaha...kalian gila!