Thursday, February 14, 2008

Si Bulang: Bujang Petualang (Gunung Manglayang)_2

Perjalanan muncak dimulai dengan hentakan kaki sambil menahan hawa dingin yang dibawa angin, kencang, menderu, membuat pohon-pohon pinus dan semak melambai-lambai. Suara yang ditimbulkan angin lebih keras dari suara gemericik air kali yang yang kami lewati. Meski gelap karena tak ada cahaya sedikit pun di angkasa, sorot lampu senter memindai jalan setapak, tegalan-tegalan tepi kebun, rumput yang basah, punggung gunung yang terlihat hitam besar gagah di depan mata, semua membentuk selaksa semangat yang naik ke puncak kepala dan membentuk satu tujuan bersama, PUNCAK.

Menyusuri jalan yang mulai menanjak, elevasinya skitar 45 derajat. Sampai pepohonan pinus yang tidak begitu rapat, kami belok ke kanan. Persis seperti yang di peringatkan oleh Mamang Syaukani, jalan basah dan licin. Kami terus saja mengikuti jalur yang terlihat di depan. Di sepanjang jalur tampak jejak kaki dan pohon perdu yang terpotong oleh semacam senjata tajam, sehingga kami yakin jalur yang kami ambil sudah benar.

2 jam berjalan jalan makin berat saja, bahkan sudah mencapai kemiringan hingga 75 derajat. Kadang kami menemui persimpangan-persimpangan, tapi dengan keyakinan bersama bahwa arah kedua persimpangan tetap menuju ke atas, kami tidak ragu. Tidak lama kemudian, tiba-tiba saya menemukan keanehan. Semakin lama diperhatikan memang tampak tanah di jalur tersebut gembur, namun tak ada jejak.Ya, dia lebih nampak seperti aliran air. Ah, tidak salah lagi ini jalur aliran air hujan. Ternyata kami salah jalan.

Setelah hampir tiga jam berjalan, sekitar pukul 1 dini hari, batas puncak seperti terlihat dekat, tapi kami yakin dia tidak sedekat itu. Dan kemiringan makin bertambah, hampir 90 derajat, huaaa Tuhan, kami terpaksa harus merangkak dan merayap, dan menggapai akar2 serta tumbuhan bahkan rumput kecil untuk berpegangan. Karena tanah yang gembur dan basah, akar-akar dan tanaman itu mudah tercerabut sehingga cukup membahayakan, kami saling menopang dan membantu satu sama lain. Banyak pula batang tanaman yang berduri.

Salah satu teman sudah mulai mengajuan usul untuk kembali ke bawah, karena jalur yang kami ambil ternyata sangat berbahaya. Saya juga berpikir demikian, tidak ada salahnya kembali ke bawah dan mencari jalur lain yang lebih aman, semua mesti terukur dengan matang. Akhirnya semua teman setuju. Perjalan turun tidak semudah itu, lebih sulit, kami harus turun dengan berperosotan, tak ayal beberapa dari kami sempat terkena duri dan kayu di bagian pantat. Celana salah satu rekan juga tak terselamatkan, robek.

Dengan kaki mulai pegal, dan lelah, kami sampai di persimpangan kaki gunung. Di tempat itu kami istirahat sejenak, sambil berembuk apakah akan mencoba lagi naik ke atas. Kami memutuskan mencoba sekali lagi melalui jalur lebih ke kanan. Sekitar pukul tiga dini hari kami mulai naik kembali. Awalnya cukup landai, namun lagi-lagi, makin menanjak dan kemiringannya sama dengan sebelumnya. Sudah, akhirnya kami putuskan berhenti, dan turun kembali ke pondokan Mamang. Ini bukan keputusan bodoh karena kami gagal sampai di puncak, tapi pilihan yang memang rasional diambil demi keselamatan, apalagi kabut mulai turun, hitam pekat. (belakangan kami mendengar kabar dari pendaki lain bahwa di puncak terjadi badai)

Sesampainya di Mamang, kami disambut oleh sang istri, dan rupanya memang kami salah ambil jalan. Istri mamang juga mengatakan bahwa ketika kami berangkat mendaki tadi Mamang sudah berteriak-teriak bahwa jalan kami salah, harusnya ke kiri, namun teriakan Mamang lenyap ditelan angin kencang.

Kepada Istri Mamang kami minta ijin untuk beristirahat di pondokan tua yang di depan warungnya. Disana kami melepas lelah, menyiakan makan dan kopi hangat, sambil mengobrol, dan mengulas ulang perjalanan kami penuh canda. Tidak ada kekecewaan sama sekali di antara kami meski tidak sampai puncak, semua tampaknya puas karena telah berusaha dengan maksimal. Kami semua merasa sangat hebat malam itu, karena dari semua rekan yang pernah mendaki gunung yang lebih tinggi sebelumnya, kali ini memang yang tersulit, dan kami bisa melaluinya dengan kompak, tanpa masalah berarti seperti cidera dan lain-lain.

"it is not necessary to be strong, but to feel strong" (Into the Wild)
Kami membunuh dingin dengan hangat persahabatan
Kami menutup malam dengan cerita untuk dibagi esok pagi
"Happiness only real when shared"



2 comments:

Anonymous said...

Iiihhhh jalan-jalan terussss. Enak ya..selama statusnya masi mahasiswa:))

RonggoLawe said...

ahh nggak juga Thea..cuma agenda rutin aja..:p