Tuesday, December 2, 2008

Pork Barrel Politics

Adegan seorang ibu yang menjelaskan tentang sebuah program pemberdayaan masyarakat, kemudian diselingi gambar-gambar dan pidato singkat seorang pejabat negara. Akhir-akhir ini televisi sering kali menayangkan iklan-iklan layanan masyarakat seperti itu. Entah berapa anggaran untuk pembuatan dan penayangan iklan tersebut di tv swasta, saya pikir pasti milyaran rupiah.

Dari kacamata berpikir saya yang sedikit pecah, dan tergores-gores, saya menemukan dua sesat pikir dibalik iklan-iklan tersebut. Pertama, kesia-siaan. Iklan program tersebut adalah program pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan oleh pemerintah. Menggunakan uang negara dari rakyat. Dan tentu saja pemerintah memiliki mandat dan kewajiban menggunakan uang tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai konstitusi. Sehingga sekecil apa pun uang yang dikeluarkan harus bisa dipertanggung jawabkan dalam bentuk adanya manfaat untuk masyarakat. Pertanyaannya, tanpa mengecilkan sejauh mana program tersebut telah berjalan, apa sebenarnya manfaat iklan itu sendiri untuk masyarakat kecuali hanya pemborosan. Apakah dengan menonton iklan tersebut kemudian masyarakat entas dari kemiskinan? Program pemberdayaan seperti itu menurut saya dinilai dari derajat manfaatnya bagi masyarakat
 secara factual. Masyarakatlah yang akan kemudian emmeberi apresiasi keberhasilan program. Bukan sebaliknya si pembuat program sibuk mengkampanyekan keberhasilannya sendiri.

Dari poin pertama, lahirlah sesat pikir yang kedua, munculnya kembali tradisi pork barrel politics. Pork dari Bahasa Inggris dalam artian harfiah berarti daging babi (bisa dilihat di kamus John M. Echols dan Hassan Shadily yang populer itu). Definisi umum pork barrel politics sendiri berarti kegiatan yang dimaksudkan untuk membangun dukungan politik masyarakat luas yang ditempuh oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan memperkenalkan program-program yang dibiayai dari anggaran negara. Di Jepang istilah ini lumayan populer.
Kasarnya, dibalik penayangan iklan program-program pemberdayaan masyarakat itu, munculnya pejabat atau politisi menunjukkan mereka "numpang beken". Ada kepentingan politik barangkali. Apalagi Pemilu 2009 di depan mata. Sehingga kewajiban normatif negara dalam mensejahterakan rakyatnya ditunggangi oleh warna-warna politisasi program-program kemiskinan. 

Dulu, Pak Harto juga menggunakan cara ini. Saya masih ingat gambar-gambar pak harto memotong padi, serta iklan-iklan pembangunan yang di dalamnya penuh adegan Pak Harto sedang meninjau program-program pemerintah. Saya khawatir, tidakkah penyelenggaraan program yang bersifat sementara dan kurang melembaga secara strategis dalam jangka panjang ini bisa dikatakan sebagai money politics? Usaha untuk memperoleh kepentingan politik dengan menggunakan uang, apalagi itu uang rakyat sendiri.

Mari kita tengok program-program dimaksud:
  • Bantuan Langsung Tunai (BLT) 100rb/bulan, program yang kontroversial. Pengkritik umumnya berpendapat, "kasih kail, jangan ikan!"
  • Kredit Usaha Rakyat (KUR)
  • Program Keluarga Harapan (PKH)
  • Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
  • Bantuan Khusus Mahasiswa (BKM)
  • Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri
  • Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (PNPM-P2KP)
Sebenarnya program-program tersebut masuk akal dan memiliki manfaat buat masyarakat secara umum.
Akan tetapi aneh rasanya, karena pemikiran saya sederhana saja, bayangkan jika kita ingin berbuat baik tapi selalu diselubungi pamrih. Duh, nggak nyaman rasanya.
Sekali lagi ini hanya soal iklan-iklannya.

Monday, December 1, 2008

Persahabatan

Tawa



Amarah




Warna-warni persahabatan






Monday, October 20, 2008

Humble

"Bapak itu, kira-kira pernah masuk mal nggak ya?" (teman perjalanan)

kesederhanaan dan kerendahhatian muncul dari wajah-wajah petani. kadang orang-orang yang hidup di kota seperti aku menganggapnya sebagai hal yang unik dan menarik. lalu membandingkannya dengan kehidupan mereka di kota.

dulu, orang tuaku juga petani yang hidup dari ladang dan sawah di pinggir hutan. jika mengingat kembali masa kanak-kanak itu, kadang ingin juga jadi petani...:D

Tuesday, August 26, 2008

Bahasa

Sumpah Pemuda:
".....berbahasa yang satu, bahasa Inggris..."


Iklan yang digagas salah satu komunitas kreatif di Bandung ini memang bagus. Apalagi Bandung punya pengalaman tragedi sampah yang memalukan. Tapi, jika diperhatikan sebenarnya iklan ini untuk siapa? Untuk orang2 yang sedang duduk2 dibawah iklan itu, atau untuk turis-turis asing yang sedang berkunjung ke Bandung. Sepengetahuan saya, tingkat kesadaran turis-turis asing soal sampah jauh lebih baik. Tidak hanya itu orang Indonesia yang mengerti bahasa Inggris dan berasal dari kelas menengah ekonomi juga cukup tinggi kesadarannya.

Mungkin bahasa Sunda atau Bahasa Indonesia yang di kemas kreatif lebih mengena, dan kalau pun perlu selipkan Bahasa Inggris secara wajar di sela-selanya. Kita memang bagian masyarakat global yang bukannya makin mejemuk malah makin homogen. Tapi soal identitas, bahkan orang Inggris pun tidak membuat iklan dalam Bahasa Indonesia. Think!

Saturday, August 16, 2008

INDONESIA TANAH AIR

Tuesday, August 12, 2008

Lampung Tano Lado


Friday, May 16, 2008

Mereka yang tetap ceria


Namanya fazdri, azizah, Nur, alfa, Mahfud, Dede...dan masih banyak lagi. Tidak beda dengan anak2 yang lain, mereka ceria, ingin tahu segala hal, nakal, dan tentu saja cerdas. Tapi, mereka tak seberuntung anak-anak lain mungkin. Tiada orang tua, tiada ibu ataupun ayah, mereka anak-anak yatim piatu yang tinggal bersama dengan sepasang bapak dan ibu yang sangat baik dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Di rumah sang ibu yang mereka panggil Umi itu, mereka bak keluarga besar, yang diisi oleh keceriaan dan rasa kekeluargaan yang kental.

Demikianlah, aku berkenalan dengan mereka, anak-anak Tuhan. Berawal dari seorang teman baik yang secara suka rela memberi les gratis di waktu luangnya, aku pun bergabung. Jadilah kami berdua kakak-kakak mereka yang baru, yang sesungguhnya malah belajar banyak dari mereka.

Adakah teman-teman yang ingin membagi sesuatu seperti buku atau yang lain?

Wednesday, May 14, 2008

30 April terbingkai "a"


pertemuan yang tak disengaja
singkat namun kaya makna
lepas namun miskin prasangka
kau berkata seperti mengenalku berabad lamanya
lalu, obrolan kita mengalir penuh tawa

tak terasa
oto sampailah di ibu kota
dua setengah jam bak lima menit saja
masing-masing kita berharap bertemu di tempat yang sama
lalu, dimulailah sebuah cerita

Friday, April 25, 2008

Lanskap Segelas Yoghurt


Segelas lychee special yoghurt juice yang tersaji di meja makan menampakkan lelehan embun di sisi-sisi gelas. Di sampingnya sepiring kentang goreng dan sosis diiris-iris. Itu kombinasi yang paling ku gemari. Meskipun ada pilihan lain, seperti strawberry dengan kue-kue, keju, atau bahkan bakso.

Di Bandung, dalam seminggu aku bisa tiga kali ke tempat ini. Bahkan sesekali aku membawa teman-temanku dari luar kota untuk mencicipi. Meskipun kadang mereka telah memiliki referensi tempat sejenis, aku selalu menciptakan kondisi dimana mereka mau tidak mau harus mencoba tempat makan yang satu ini. Alasannya, pertama karena aku suka. Kedua, karena aku memang suka. No bargaining.

Di bawah pohon besar "Yoghurt Cisangkuy", aku mengambil sebutir lhycee dan mengunyahnya sambil menikmati rasa masamnya.

Aku lupa benar, kapan aku mulai menyukai lychee special yoghurt juice. Belum lama, sepulang kuliah biasanya aku sering berkumpul dengan teman-teman disini. Membicarakan tugas, persiapan penelitian, isu-isu mutakhir, hingga soal pribadi.

Ada rasa masam dan manis yang dingin serta bonus empat buah lychee dari dalam gelas seperti harta karun yang menyembul keluar dari dasar lautan yoghurt. Seperti kehidupan, tampaknya kombinasi rasa ini mewakili ruang-ruang dalam diri. Aku ingin menahan rasa masamnya di lidah selama mungkin seperti aku menahan rasa dari simpul-simpul sarafku. Karena tegukan pertama lychee special yoghurt juice ini telah membangkitkan sesuatu yang pernah aku kubur dalam-dalam. Aku harus menahannya supaya ia tak memberontak dan tak terkendali.
Dan untuk itulah aku harus datang sesering mungkin untuk menenangkannya.

Tegukan terakhir, temanku menyodorkan tulisannya. "Oya, aku lupa kalau kita disini untuk berdiskusi ya? Maafkan". Cakrawala tertutup rerimbunan daun dan dahan pohon sore itu.

Sunday, April 20, 2008

Around Jakarta in 5 days

Sedang tidak ingin menulis...






Wednesday, March 5, 2008

"Happiness is only real when shared": Into the wild



Berawal dari pencarian DVD film City of God, penjaja DVD menawarkan Into the Wild kepada saya. Katanya "kalau mas suka film-film macam gini, pasti suka yang ini juga". Akhirnya saya beli keduanya.

Malam berikutnya saya tontonlah Into the Wild bersama teman-teman di rumah. Dan memang, sejak malam itu saya tidak bisa berhenti memikirkan film tersebut. Into the Wild secara tiba-tiba mempengaruhi. Dia seperti memperkuat satu sisi dari kehidupan kita yang rentan di bumi ini, "pencarian jati diri" (the truth within).

Film ini disutradarai oleh Sean Penn, diangkat dari novel kisah nyata yang ditulis oleh Jon Krakauer. Karakter tokoh utama makin kuat oleh Emile Hirsch yang memang hobi berperan sebagai "rebell", anti kemapanan.


Namun, yang jelas sejak menonton film tersebut pandangan hidup mengenai materi, aktualisasi diri dan hal-hal yang terkait dengan kehidupan makin bergeser. Bagaimana Crhristopher Johnson McAndels sang 'supertramp" mendonasikan semua uangnya ke Oxfam, lalu membakar sisanya diperjalanan, menggunting semua kartu kredit dan identitas diri, lalu berkelana secara "penniless" demi satu tujuan: ALASKA, semua itu memberi pandangan bahwa ternyata tanpa materi atau uang pun sebenarnya kita bisa menikmati hidup...."I've never been as happy as when I was penniless"

Sepanjang perjalannya dua tahun memenuhi obsesi ke Alaska, ia bertemu dengan banyak orang, namun dengan keramahannya dan keteguhan hatinya ia mampu membuat orang-orang yang ditemui manjadi sangat menyukainya. Adegan yang paling saya suka adalah ketika di tengah perjalanan ia memakan sebuah apel. Dia begitu menikmati apel tersebut, memujinya, dan memakannya seolah-olah itu adalah apel paling enak di dunia.

Kesederhanaannya membuat orang lain menyukainya. Ia bisa bekerja di sebuah ladang pertanian, atau di toko burger, bahkan bersahabat baik dengan pemiliknya. Sense of humour dan perspektifnya juga menyenangkan. Sehingga kalau diperhatikan kisah ini mirip-mirip dengan acara "jejak si gundul", bedanya Chris memiliki tujuan yang kuat yaitu menuju Alaska, sementara Si Gundul nggak jelas mau kemana.

Beberapa hal lain yang saya suka dari film ini misalnya: Keyakinan chris, integritas, COMMITMENT. Lalu, the relationships, and the way they differed, but all showed that loving someone SO MUCH can sometimes mean letting them go, (away even) ... and even if you are worried for their judgement or their future or them forgetting about you ... when you really love someone you want them to fully realize who THEY are MORE than you want to see their beautiful face everyday. [Sometimes, maybe, the two are not mutually exclusive.] Hehehehe..saya yakin hal ini pasti debatable di antara kita.

Dan, endingnya yang luar biasa sewaktu di "Magic Bus" Alaska, di tengah sekarat akibat kecerobohannya memakan tanaman beracun, ia ternyata menyadari bahwa manusia hidup memang mesti bersama, kata-kata terakhir yang sempat dituliskannya :"Happiness is only real when shared".

Tuesday, March 4, 2008

BLBI, Salim, dan the Six Billion Rupiah Man


"Dulu uang bukan segalanya, tapi sekarang segalanya harus dengan uang" kata seorang teman sambil menggeram. Bahkan untuk memperoleh keadilan di depan hukum kita harus adu kuat uang. Siapa yang punya uang lebih besar dia yang menang. Padahal terkadang apayang diperjuangkan di depan hukum itu berkaitan dengan uang yang menjadi hak orang banyak.

Jumat lalu baru saja Kejaksaan Agung mengumumkan penghentian penyelidikan kasus "MegaKorupsi" dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan obligor Bank BCA dan Bank BDNI yaitu Syamsul Nursalim. Dana yang gagal diusut itu nilainya tidak sedikit, 47 Triliun Rupiah. Dengan uang sebanyak itu, kita bisa memperbaiki seluruh gedung Sekolah yang rusak di Indonesia, atau memberikan beasiswa kepada 47000 orang cerdas yang ada di tanah air untuk menyerap ilmu di negeri paling maju jika asumsinya setiap orang membutuhkan dana 1 milyar rupiah. Atau, dengan dana setengahnya saja kita bisa membangun sebuah perusahaan super besar, dengan karyawan puluhan ribu yang bisa mengangkat ribuan gelandangan atau pengangguran menjadi pekerja. Setengahnya yang lain bisa kita bangun sebuah pusat riset teknologi pertanian paling modern di tanah air berhubung negara kita katanya negara agraris.....tapi, itu hanya mimpi. Buyar seketika, hanya dengan sebuah laporan setebal seratusan halaman.

Belum lagi, masih dengan kasus BLBI yang sama, dengan aktor yang sama pula, masih Salim Bersaudara, tak lain anak Syamsul Nursalim, Anthoni Salim. Yang ini lebih hebat, total uang rakyat yang lenyap entah kemana hampir52,7 triliun rupiah. Terbayang bukan dengan uang sebanyak itu apa yang bisa negara ini perbuat untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya yang makin sengsara ini.

Naasnya buat negeri ini, meskipun dulu ketika aset-asetnya disita oleh negara kedua taipan ini mengaku sudah tidak memiliki apa-apa lagi alias miskin, tapi jika kita perhatikan sekarang mereka lebih kaya di banding sebelum tahun 1998. Markas korporasinya bahkan dipindahkan ke Singapura. Lalu, darimana uangnya berasal?

Dibalik peristiwa sedih ketika sebuah keluarga, ibu dan seorang anak, di Makassar tewas mengenaskan karena kelaparan. Esoknya, seorang penegak hukum tertangkap basah menerima uang tunai sebanyak 660.000 Dollar AS, atau sekitar 6,1 Milyar Rupiah. Sedihnya lagi, si penegak hukum ini tidak lain adalah salah satu Ketua Tim 35 Penyelidik BLBI Kejaksaan Agung. Tetangkapnya juga hebat sekali, di rumah orang yang sebelumnya ia selidiki, syamsul nursalim. Mungkinkah laporan yang setebal seratusan halaman yang membuyarkan mimpi jutaan masyarakat Indonesia yang paling sengsara ini ditulis dengan tinta-tinta 6,1 Milyar Rupiah Jaksa Urip???

Uang, uang, uang...Integritas, idealisme, karir, nama baik, yang dibangun susah payah bertahun-tahun semua hancur seketika demi uang. Benarkan dari akar paling primitif manusia hidup ini memang demi uang?


"Money and Power are illusion...."

Thursday, February 21, 2008

Motorcycle drive by


Semenjak dibukanya tol Cipularang, praktis jalur Bogor ke arah Bandung dari Jakarta sepi pada hari-hari biasa, kecuali hari libur. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para penduduk yang sebelumnya mengantungkan pendapatannnya dari ramainya jalur tersebut di waktu dulu. Warung-warung makan yang dulu ramai oleh kendaraan yang bersitirahat kini sepi. Penjaja makanan tampak lesu. Mungkin ribuan orang merosot penghidupannya dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, yang makin tampak ramai adalah para penjaja "tubuh" yang berdiri dipinggir jalan menunggu calon pelanggan, padahal jumlah mereka mungkin lebih banyak dari jumlah orang yang melintas. Jalur Puncak, kini lebih seperti jalur prostitusi. Apakah ini juga akibat langsung dari hancurnya perekonomian di jalur tersebut.

Ketika melintas mulai dari Parung, kemudian Puncak, sampai Cipanas, puluhan kali perempuan-perempuan muda melambai-lambai tangan. Apakah mereka minta tumpangan? Saya pikir kita semua paham bukan? Aneh mungkin, tengah malam ada banyak perempuan berdiri di pinggir jalan dengan dandanan lengkap begitu mirip orang mau kondangan, apalagi jika dilihat sepintas mereka masih berumur belasan tahun.

Di Puncak, jangan kaget, kalau kita beristirahat sambil minum air hangat atau jagung bakar di sebuah warung kemudian ditawari "cewek". "Short time murah mas", "apalagi kalau hari biasa, dibanding hari libur murah banget". "Bisa lah di bawah 100rb". Hmmm...Kalau kita berombongan saya bayangkan tidak hanya satu orang yang akan menawari, mungkin bakal banyak mucikari berebut, sehingga anda semua yang hobi "jajan" bisa dapat "barang" eceran super murah mirip acara "great sale" di Mal-Mal.

Tapi satu hal, apakah dalam beberapa tahun ini, dalam hari-hari libur dimana banyak orang kaya Jakarta, Pejabat tinggi dari Menteri hingga Politisi wakil rakyat, bahkan Pemimpin daerahnya sendiri yang berlibur ke Villa-Villa-nya yang mewah, apakah mereka tidak menyaksikan hal serupa? Kalau mereka tahu, lalu dimana kepeduliannya? Bukankah ini tanggung jawab mereka sebagai orang yang digaji untuk menangani masalah masyarakat. Tidak kah mereka berpikir bahwa perempuan-perempuan belia itu "anak bangsa", anak mereka juga.

Saya kira, puluhan orang yang berdiri dipinggir jalan itu pada umumnya punya masalah satu, ketiadaan ekonomi. Sedihnya, orang-orang yang dibayar oleh negara dengan uang yang kita bayarkan melalui pajak tak berbuat banyak, melakukan pembiaran, tak peduli dengan keadaan yang terpampang di depan mata mereka. Berangkat haji mungkin lebih dari dua kali, tapi berangkat bertugas demi tanggung jawabnya hanya dan hanya jika "ada uangnya".

Jakarta -Bandung via Puncak, perjalanan yang menyenangkan tapi berat....

Tuesday, February 19, 2008

Teater Kehidupan Parung


menyusuri jalan panjang
kilau lampu menembus wajah-wajah ayu
tergores bulir air yang jatuh dari ujung daun

ia melewatinya satu persatu
mereka sekalian melambai-lambaikan tangan
memintanya berhenti dengan sungging senyuman

ia tidak ingin menangis sambil melaju tunduk sepanjang jalan itu
meskipun rintik-rintik hujan siap menggantikan air matanya
ia hanya ingin merintih lirih sambil melaju sendiri
dalam hujan rintik-rintik di jalan sepi pada suatu malam

Motorcycle Diaries, Parung-Puncak Bogor, 17 Februari 2008


sumber foto: http://kalipaksi.multiply.com/photos/album/30#5

Thursday, February 14, 2008

Si Bulang: Bujang Petualang (Gunung Manglayang)_2

Perjalanan muncak dimulai dengan hentakan kaki sambil menahan hawa dingin yang dibawa angin, kencang, menderu, membuat pohon-pohon pinus dan semak melambai-lambai. Suara yang ditimbulkan angin lebih keras dari suara gemericik air kali yang yang kami lewati. Meski gelap karena tak ada cahaya sedikit pun di angkasa, sorot lampu senter memindai jalan setapak, tegalan-tegalan tepi kebun, rumput yang basah, punggung gunung yang terlihat hitam besar gagah di depan mata, semua membentuk selaksa semangat yang naik ke puncak kepala dan membentuk satu tujuan bersama, PUNCAK.

Menyusuri jalan yang mulai menanjak, elevasinya skitar 45 derajat. Sampai pepohonan pinus yang tidak begitu rapat, kami belok ke kanan. Persis seperti yang di peringatkan oleh Mamang Syaukani, jalan basah dan licin. Kami terus saja mengikuti jalur yang terlihat di depan. Di sepanjang jalur tampak jejak kaki dan pohon perdu yang terpotong oleh semacam senjata tajam, sehingga kami yakin jalur yang kami ambil sudah benar.

2 jam berjalan jalan makin berat saja, bahkan sudah mencapai kemiringan hingga 75 derajat. Kadang kami menemui persimpangan-persimpangan, tapi dengan keyakinan bersama bahwa arah kedua persimpangan tetap menuju ke atas, kami tidak ragu. Tidak lama kemudian, tiba-tiba saya menemukan keanehan. Semakin lama diperhatikan memang tampak tanah di jalur tersebut gembur, namun tak ada jejak.Ya, dia lebih nampak seperti aliran air. Ah, tidak salah lagi ini jalur aliran air hujan. Ternyata kami salah jalan.

Setelah hampir tiga jam berjalan, sekitar pukul 1 dini hari, batas puncak seperti terlihat dekat, tapi kami yakin dia tidak sedekat itu. Dan kemiringan makin bertambah, hampir 90 derajat, huaaa Tuhan, kami terpaksa harus merangkak dan merayap, dan menggapai akar2 serta tumbuhan bahkan rumput kecil untuk berpegangan. Karena tanah yang gembur dan basah, akar-akar dan tanaman itu mudah tercerabut sehingga cukup membahayakan, kami saling menopang dan membantu satu sama lain. Banyak pula batang tanaman yang berduri.

Salah satu teman sudah mulai mengajuan usul untuk kembali ke bawah, karena jalur yang kami ambil ternyata sangat berbahaya. Saya juga berpikir demikian, tidak ada salahnya kembali ke bawah dan mencari jalur lain yang lebih aman, semua mesti terukur dengan matang. Akhirnya semua teman setuju. Perjalan turun tidak semudah itu, lebih sulit, kami harus turun dengan berperosotan, tak ayal beberapa dari kami sempat terkena duri dan kayu di bagian pantat. Celana salah satu rekan juga tak terselamatkan, robek.

Dengan kaki mulai pegal, dan lelah, kami sampai di persimpangan kaki gunung. Di tempat itu kami istirahat sejenak, sambil berembuk apakah akan mencoba lagi naik ke atas. Kami memutuskan mencoba sekali lagi melalui jalur lebih ke kanan. Sekitar pukul tiga dini hari kami mulai naik kembali. Awalnya cukup landai, namun lagi-lagi, makin menanjak dan kemiringannya sama dengan sebelumnya. Sudah, akhirnya kami putuskan berhenti, dan turun kembali ke pondokan Mamang. Ini bukan keputusan bodoh karena kami gagal sampai di puncak, tapi pilihan yang memang rasional diambil demi keselamatan, apalagi kabut mulai turun, hitam pekat. (belakangan kami mendengar kabar dari pendaki lain bahwa di puncak terjadi badai)

Sesampainya di Mamang, kami disambut oleh sang istri, dan rupanya memang kami salah ambil jalan. Istri mamang juga mengatakan bahwa ketika kami berangkat mendaki tadi Mamang sudah berteriak-teriak bahwa jalan kami salah, harusnya ke kiri, namun teriakan Mamang lenyap ditelan angin kencang.

Kepada Istri Mamang kami minta ijin untuk beristirahat di pondokan tua yang di depan warungnya. Disana kami melepas lelah, menyiakan makan dan kopi hangat, sambil mengobrol, dan mengulas ulang perjalanan kami penuh canda. Tidak ada kekecewaan sama sekali di antara kami meski tidak sampai puncak, semua tampaknya puas karena telah berusaha dengan maksimal. Kami semua merasa sangat hebat malam itu, karena dari semua rekan yang pernah mendaki gunung yang lebih tinggi sebelumnya, kali ini memang yang tersulit, dan kami bisa melaluinya dengan kompak, tanpa masalah berarti seperti cidera dan lain-lain.

"it is not necessary to be strong, but to feel strong" (Into the Wild)
Kami membunuh dingin dengan hangat persahabatan
Kami menutup malam dengan cerita untuk dibagi esok pagi
"Happiness only real when shared"



Monday, February 11, 2008

Si Bulang: Bujang Petualang (Gunung Manglayang)_1

"Gw mau muncak nih, ikut yuk?". Waktu itu hari sabtu jam 3 sore.
"Oya? gunung apa? kapan berangkat?"
"Gunung Manglayang. Bentar lagi juga gw mau berangkat, jam 5-an gitu".
"Manglayang? baru denger gw. Dimana sih?"
"Itu tuh, gunung kecil yang keliatan dari belakang Kampus Unpad Jatinangor".
"Ya udah deh, gw ikut, tapi gw packing dulu bentar. Si Uan, loe ikut juga ya, huehehe supaya nambah koleksi foto friendster loe tuh".
"Ok deh, daripada bengong liburan gini".

Dan begitulah, akhirnya berangkat tiga orang bujang dari kota kembang menuju Jatinangor, bergabung dengan dua orang bujang lain yang sudah menunggu disana. Titik pertemuan kami adalah di kawasan kos-kosan padat di Jatinangor yang mengingatkan akan suasana yang sama di Jogja beberapa tahun yang lalu.

"Udah pernah ke Manglayang sebelumnya?"
"Belum".
"Berapa jam pendakian ke puncak kira-kira?"
"Nggak tau ya?"
"Lho...Nggak tanya ke temen atau orang yang udah pernah?"
"Nggak, tenang aja pasti ada petunjuk jalan yang di pasang kan disana".
"Jadi kita berlima masih buta ya". Dalam hati ada perasaan kurang enak.


Kami berlima berangkat menuju lokasi awal pendakian sekitar jam 8 malam, melewati kawasan bumi perkemahan Kiara Payung yang luas. Dari Buper, kemudian dilanjutkan menuju titik awal pendakian. Dalam perjalanan kami melewati tegalan-tegalan dan kali kecil serta kebun-kebun milik penduduk yang sebagian besar ditanami jagung, padi gogo, kol, sawi, dan tanaman hortikultur lainnya.

Tempat yang kami tuju ternyata sebuah warung kecil, yang sepertinya menjadi tempat terakhir bagi para pendaki yang ingin muncak. Disini para pendaki bisa menyiapkan air minum serta perbekalan yang lain. Warung tersebut dihuni oleh sebuah keluarga, yang kalau tidak salah dengar namanya Mang Syaukani. Si Mamang memberi petunjuk bahwa untuk menuju puncak kira-kira butuh waktu sekitar satu jam. Cukup cepat. Tapi Si Mamang memperingatkan bahwa jalurnya terjal dan licin.
Angin malam itu sangat kencang dan dingin, langit juga sepertinya kurang bersahabat, penuh awan tanpa titik cahaya satu pun. Kami memutuskan beristirahat sebentar, memesan kopi panas untuk menghangatkan badan. Waktu itu pukul 10 malam, dan ada kekhawatiran kalau terlalu cepat sampai di puncak kami akan menggigil kedinginan. Dari pengalaman, kalau tidak membawa perlengkapan yang memadai seperti tenda dome atau alat penghangat yang lain, jangan coba-coba terlalu lama nongkrong di puncak, hanya akan menyiksa diri karena dinginnya yang luar biasa, atau lebih parah lagi terserang badai. Lebih baik menyiapkan diri di tengah perjalanan, memasang tenda dan tidur, sambil menunggu waktu yang tepat menuju puncak dengan perhitungan waktu yang baik.

Tetapi tampaknya malam itu ada seorang rekan yang sudah tidak sabar ingin segera muncak, meski tidak membawa dome kita bisa sembunyi di balik sleepingbag, pungkasnya. Teman-teman yang lain rupanya tidak mengiyaan atau menolak, maka dimulailah perjalan kami dari titik awal pendakian tersebut.

"Gunung Manglayang (+1600 mdpl), disamping keindahan alamnya, di kawasan ini terdapat wisata alam Batu Kuda serta misteri yang berkembang di masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Manglayang. Misteri wanita cantik yang menjelma menjadi seekor ular yang muncul di tengah Hutan Manglayang. Semua ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Wisata Alam Gunung Manglayang. Gunung Manglayang yang menjulang tinggi terletak diantara perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Mungkin karena ketinggian dari gunung yang tidak terlalu tinggi, Gunung Manglayang terlupakan, padahal di balik itu Gunung Manglayang menyuguhkan pesona alam yang tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang ada di Jawa Barat." sumber: Pikiran Rakyat


Monday, January 14, 2008

Mie: Makanan Semua Bangsa

Penampilannya bikin perut tambah laper, pingin buru-buru makan. Apalagi suasananya jowo banget, berhubung namanya "mie jawa", Gunung Kidul banget lah pokoknya. Musiknya juga nggak kalah ndayu-ndayu, gendingan semalam suntuk mirip orang mau kawinan, jelas banget bikin orang yang abis makan ngantuk nya tambah parah. Siang itu lengkap sudah, ngerjain tugas sambil makan dan ditemani dua perempuan cantik.

Tapi apa nyana, setelah makan dan hahahihi. Di perjalanan pulang ada perasaan nggak beres ma badan ini, kok lemes banget kayaknya. Perut detik per detik makin kacau, seperti ada gemuruh badai dibarengi puting beliung...wahh sampe rumah yang terjadi "longsor" dengan suksesnya di kamar mandi...lima jam terlewati dan malah makin parah, kepala jadi pusing dan demam.

Akhirnya...diputuskan ke dokter. Kata dokter: "Mas kena infeksi usus nih, makan apa tadi?"
wooo...ini ni pak dokter tersangkanya:

Tuesday, January 1, 2008

Mengganti Tahun bersamanya

Sampai di bundaran HI kondisi jalan sudah sangat padat. Mobil dan motor saling berebut badan jalan, sementara orang-orang berjalan memenuhi hampir semua sisi trotoar.
Gelombang manusia ini menuju arah yang sama, Monas. Kontras dengan sisi arah sebaliknya, baik jalan Sudirman maupun Thamrin,lancar dan lengang. Waktu itu pukul 11 malam, 31 desember 2007.

Pergantian tahun hanya tinggal satu jam lagi. Dan melihat kondisi jalan yang padat merayap tak mungkin sampai di Monas tepat waktu. Pilihan yang mungkin adalah turun mendahului teman-teman dan berjalan kaki sambil mencari momen-momen menarik untuk ditangkap.

Sesampainya di halte busway depan sarinah, jam menunjukkan pukul 11.30. Sudahlah tak mungkin lagi ke Monas, lebih baik mangkal disini dan mengambil posisi yang enak. Sepertinya cukup enak di atas jembatan penyebarangan, selain bisa melihat ke arah Buderan HI juga ke arah sebaliknya.


Di Sarinah, suara dentuman musik yang di bawakan seorang DJ tak henti-hentinya meriuh semangat banyak orang yang berkerumun. Semua orang sepertinya tidak peduli dengan hujan yang terus mengguyur jakarta, basah tak menjadi alasan untuk tidak menyambut tahun 2008 dengan suka cita dan harapan-haran besar.

Setelah asyik mengambil gambar di sela-sela orang-orang yang lalu lalang dengan wajah sumringah tampak bahagia dan secara kebetulan di antara mereka ternyata teman-teman lama, detik-detik pergantian tahun di mulai.

Tepat pukul 00.01 , semua orang berteriak-teriak gembira bersamaan, meniup terompet sekencang-kencangnya, di barengi dentuman kembang api dari berbagai arah membahana di langit pecah di sela-sela gedung tinggi, langit mendung dan gelap malam itu tampak terang dan berwarna.

Tetapi, ada sesosok tubuh duduk di pintu lift busway yang tak terpakai, meringkuk menutup diri bersama gitarnya, membangun tembok yang membuatnya asing dari dunia di sekitarnya. Tiba-tiba semua berhenti, telinga terasa tuli, semua bergerak sangat lamban, mata tertegun.
Ia, sesosok tubuh itu, mengapa tidak menjadi bagian dari kegembiraan ini? mengapa kau seperti terlempar keluar dari hiruk-pikuk manusia-manusia yang bersorak-sorak penuh harapan di tahun 2008? Ataukah harapanmu pupus tepat sejak kau menginjakkan kakimu di kota ini?Ia, pengamen jalanan, membuatku malu di tahun baru...