Thursday, February 21, 2008

Motorcycle drive by


Semenjak dibukanya tol Cipularang, praktis jalur Bogor ke arah Bandung dari Jakarta sepi pada hari-hari biasa, kecuali hari libur. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para penduduk yang sebelumnya mengantungkan pendapatannnya dari ramainya jalur tersebut di waktu dulu. Warung-warung makan yang dulu ramai oleh kendaraan yang bersitirahat kini sepi. Penjaja makanan tampak lesu. Mungkin ribuan orang merosot penghidupannya dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, yang makin tampak ramai adalah para penjaja "tubuh" yang berdiri dipinggir jalan menunggu calon pelanggan, padahal jumlah mereka mungkin lebih banyak dari jumlah orang yang melintas. Jalur Puncak, kini lebih seperti jalur prostitusi. Apakah ini juga akibat langsung dari hancurnya perekonomian di jalur tersebut.

Ketika melintas mulai dari Parung, kemudian Puncak, sampai Cipanas, puluhan kali perempuan-perempuan muda melambai-lambai tangan. Apakah mereka minta tumpangan? Saya pikir kita semua paham bukan? Aneh mungkin, tengah malam ada banyak perempuan berdiri di pinggir jalan dengan dandanan lengkap begitu mirip orang mau kondangan, apalagi jika dilihat sepintas mereka masih berumur belasan tahun.

Di Puncak, jangan kaget, kalau kita beristirahat sambil minum air hangat atau jagung bakar di sebuah warung kemudian ditawari "cewek". "Short time murah mas", "apalagi kalau hari biasa, dibanding hari libur murah banget". "Bisa lah di bawah 100rb". Hmmm...Kalau kita berombongan saya bayangkan tidak hanya satu orang yang akan menawari, mungkin bakal banyak mucikari berebut, sehingga anda semua yang hobi "jajan" bisa dapat "barang" eceran super murah mirip acara "great sale" di Mal-Mal.

Tapi satu hal, apakah dalam beberapa tahun ini, dalam hari-hari libur dimana banyak orang kaya Jakarta, Pejabat tinggi dari Menteri hingga Politisi wakil rakyat, bahkan Pemimpin daerahnya sendiri yang berlibur ke Villa-Villa-nya yang mewah, apakah mereka tidak menyaksikan hal serupa? Kalau mereka tahu, lalu dimana kepeduliannya? Bukankah ini tanggung jawab mereka sebagai orang yang digaji untuk menangani masalah masyarakat. Tidak kah mereka berpikir bahwa perempuan-perempuan belia itu "anak bangsa", anak mereka juga.

Saya kira, puluhan orang yang berdiri dipinggir jalan itu pada umumnya punya masalah satu, ketiadaan ekonomi. Sedihnya, orang-orang yang dibayar oleh negara dengan uang yang kita bayarkan melalui pajak tak berbuat banyak, melakukan pembiaran, tak peduli dengan keadaan yang terpampang di depan mata mereka. Berangkat haji mungkin lebih dari dua kali, tapi berangkat bertugas demi tanggung jawabnya hanya dan hanya jika "ada uangnya".

Jakarta -Bandung via Puncak, perjalanan yang menyenangkan tapi berat....

Tuesday, February 19, 2008

Teater Kehidupan Parung


menyusuri jalan panjang
kilau lampu menembus wajah-wajah ayu
tergores bulir air yang jatuh dari ujung daun

ia melewatinya satu persatu
mereka sekalian melambai-lambaikan tangan
memintanya berhenti dengan sungging senyuman

ia tidak ingin menangis sambil melaju tunduk sepanjang jalan itu
meskipun rintik-rintik hujan siap menggantikan air matanya
ia hanya ingin merintih lirih sambil melaju sendiri
dalam hujan rintik-rintik di jalan sepi pada suatu malam

Motorcycle Diaries, Parung-Puncak Bogor, 17 Februari 2008


sumber foto: http://kalipaksi.multiply.com/photos/album/30#5

Thursday, February 14, 2008

Si Bulang: Bujang Petualang (Gunung Manglayang)_2

Perjalanan muncak dimulai dengan hentakan kaki sambil menahan hawa dingin yang dibawa angin, kencang, menderu, membuat pohon-pohon pinus dan semak melambai-lambai. Suara yang ditimbulkan angin lebih keras dari suara gemericik air kali yang yang kami lewati. Meski gelap karena tak ada cahaya sedikit pun di angkasa, sorot lampu senter memindai jalan setapak, tegalan-tegalan tepi kebun, rumput yang basah, punggung gunung yang terlihat hitam besar gagah di depan mata, semua membentuk selaksa semangat yang naik ke puncak kepala dan membentuk satu tujuan bersama, PUNCAK.

Menyusuri jalan yang mulai menanjak, elevasinya skitar 45 derajat. Sampai pepohonan pinus yang tidak begitu rapat, kami belok ke kanan. Persis seperti yang di peringatkan oleh Mamang Syaukani, jalan basah dan licin. Kami terus saja mengikuti jalur yang terlihat di depan. Di sepanjang jalur tampak jejak kaki dan pohon perdu yang terpotong oleh semacam senjata tajam, sehingga kami yakin jalur yang kami ambil sudah benar.

2 jam berjalan jalan makin berat saja, bahkan sudah mencapai kemiringan hingga 75 derajat. Kadang kami menemui persimpangan-persimpangan, tapi dengan keyakinan bersama bahwa arah kedua persimpangan tetap menuju ke atas, kami tidak ragu. Tidak lama kemudian, tiba-tiba saya menemukan keanehan. Semakin lama diperhatikan memang tampak tanah di jalur tersebut gembur, namun tak ada jejak.Ya, dia lebih nampak seperti aliran air. Ah, tidak salah lagi ini jalur aliran air hujan. Ternyata kami salah jalan.

Setelah hampir tiga jam berjalan, sekitar pukul 1 dini hari, batas puncak seperti terlihat dekat, tapi kami yakin dia tidak sedekat itu. Dan kemiringan makin bertambah, hampir 90 derajat, huaaa Tuhan, kami terpaksa harus merangkak dan merayap, dan menggapai akar2 serta tumbuhan bahkan rumput kecil untuk berpegangan. Karena tanah yang gembur dan basah, akar-akar dan tanaman itu mudah tercerabut sehingga cukup membahayakan, kami saling menopang dan membantu satu sama lain. Banyak pula batang tanaman yang berduri.

Salah satu teman sudah mulai mengajuan usul untuk kembali ke bawah, karena jalur yang kami ambil ternyata sangat berbahaya. Saya juga berpikir demikian, tidak ada salahnya kembali ke bawah dan mencari jalur lain yang lebih aman, semua mesti terukur dengan matang. Akhirnya semua teman setuju. Perjalan turun tidak semudah itu, lebih sulit, kami harus turun dengan berperosotan, tak ayal beberapa dari kami sempat terkena duri dan kayu di bagian pantat. Celana salah satu rekan juga tak terselamatkan, robek.

Dengan kaki mulai pegal, dan lelah, kami sampai di persimpangan kaki gunung. Di tempat itu kami istirahat sejenak, sambil berembuk apakah akan mencoba lagi naik ke atas. Kami memutuskan mencoba sekali lagi melalui jalur lebih ke kanan. Sekitar pukul tiga dini hari kami mulai naik kembali. Awalnya cukup landai, namun lagi-lagi, makin menanjak dan kemiringannya sama dengan sebelumnya. Sudah, akhirnya kami putuskan berhenti, dan turun kembali ke pondokan Mamang. Ini bukan keputusan bodoh karena kami gagal sampai di puncak, tapi pilihan yang memang rasional diambil demi keselamatan, apalagi kabut mulai turun, hitam pekat. (belakangan kami mendengar kabar dari pendaki lain bahwa di puncak terjadi badai)

Sesampainya di Mamang, kami disambut oleh sang istri, dan rupanya memang kami salah ambil jalan. Istri mamang juga mengatakan bahwa ketika kami berangkat mendaki tadi Mamang sudah berteriak-teriak bahwa jalan kami salah, harusnya ke kiri, namun teriakan Mamang lenyap ditelan angin kencang.

Kepada Istri Mamang kami minta ijin untuk beristirahat di pondokan tua yang di depan warungnya. Disana kami melepas lelah, menyiakan makan dan kopi hangat, sambil mengobrol, dan mengulas ulang perjalanan kami penuh canda. Tidak ada kekecewaan sama sekali di antara kami meski tidak sampai puncak, semua tampaknya puas karena telah berusaha dengan maksimal. Kami semua merasa sangat hebat malam itu, karena dari semua rekan yang pernah mendaki gunung yang lebih tinggi sebelumnya, kali ini memang yang tersulit, dan kami bisa melaluinya dengan kompak, tanpa masalah berarti seperti cidera dan lain-lain.

"it is not necessary to be strong, but to feel strong" (Into the Wild)
Kami membunuh dingin dengan hangat persahabatan
Kami menutup malam dengan cerita untuk dibagi esok pagi
"Happiness only real when shared"



Monday, February 11, 2008

Si Bulang: Bujang Petualang (Gunung Manglayang)_1

"Gw mau muncak nih, ikut yuk?". Waktu itu hari sabtu jam 3 sore.
"Oya? gunung apa? kapan berangkat?"
"Gunung Manglayang. Bentar lagi juga gw mau berangkat, jam 5-an gitu".
"Manglayang? baru denger gw. Dimana sih?"
"Itu tuh, gunung kecil yang keliatan dari belakang Kampus Unpad Jatinangor".
"Ya udah deh, gw ikut, tapi gw packing dulu bentar. Si Uan, loe ikut juga ya, huehehe supaya nambah koleksi foto friendster loe tuh".
"Ok deh, daripada bengong liburan gini".

Dan begitulah, akhirnya berangkat tiga orang bujang dari kota kembang menuju Jatinangor, bergabung dengan dua orang bujang lain yang sudah menunggu disana. Titik pertemuan kami adalah di kawasan kos-kosan padat di Jatinangor yang mengingatkan akan suasana yang sama di Jogja beberapa tahun yang lalu.

"Udah pernah ke Manglayang sebelumnya?"
"Belum".
"Berapa jam pendakian ke puncak kira-kira?"
"Nggak tau ya?"
"Lho...Nggak tanya ke temen atau orang yang udah pernah?"
"Nggak, tenang aja pasti ada petunjuk jalan yang di pasang kan disana".
"Jadi kita berlima masih buta ya". Dalam hati ada perasaan kurang enak.


Kami berlima berangkat menuju lokasi awal pendakian sekitar jam 8 malam, melewati kawasan bumi perkemahan Kiara Payung yang luas. Dari Buper, kemudian dilanjutkan menuju titik awal pendakian. Dalam perjalanan kami melewati tegalan-tegalan dan kali kecil serta kebun-kebun milik penduduk yang sebagian besar ditanami jagung, padi gogo, kol, sawi, dan tanaman hortikultur lainnya.

Tempat yang kami tuju ternyata sebuah warung kecil, yang sepertinya menjadi tempat terakhir bagi para pendaki yang ingin muncak. Disini para pendaki bisa menyiapkan air minum serta perbekalan yang lain. Warung tersebut dihuni oleh sebuah keluarga, yang kalau tidak salah dengar namanya Mang Syaukani. Si Mamang memberi petunjuk bahwa untuk menuju puncak kira-kira butuh waktu sekitar satu jam. Cukup cepat. Tapi Si Mamang memperingatkan bahwa jalurnya terjal dan licin.
Angin malam itu sangat kencang dan dingin, langit juga sepertinya kurang bersahabat, penuh awan tanpa titik cahaya satu pun. Kami memutuskan beristirahat sebentar, memesan kopi panas untuk menghangatkan badan. Waktu itu pukul 10 malam, dan ada kekhawatiran kalau terlalu cepat sampai di puncak kami akan menggigil kedinginan. Dari pengalaman, kalau tidak membawa perlengkapan yang memadai seperti tenda dome atau alat penghangat yang lain, jangan coba-coba terlalu lama nongkrong di puncak, hanya akan menyiksa diri karena dinginnya yang luar biasa, atau lebih parah lagi terserang badai. Lebih baik menyiapkan diri di tengah perjalanan, memasang tenda dan tidur, sambil menunggu waktu yang tepat menuju puncak dengan perhitungan waktu yang baik.

Tetapi tampaknya malam itu ada seorang rekan yang sudah tidak sabar ingin segera muncak, meski tidak membawa dome kita bisa sembunyi di balik sleepingbag, pungkasnya. Teman-teman yang lain rupanya tidak mengiyaan atau menolak, maka dimulailah perjalan kami dari titik awal pendakian tersebut.

"Gunung Manglayang (+1600 mdpl), disamping keindahan alamnya, di kawasan ini terdapat wisata alam Batu Kuda serta misteri yang berkembang di masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Manglayang. Misteri wanita cantik yang menjelma menjadi seekor ular yang muncul di tengah Hutan Manglayang. Semua ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Wisata Alam Gunung Manglayang. Gunung Manglayang yang menjulang tinggi terletak diantara perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Mungkin karena ketinggian dari gunung yang tidak terlalu tinggi, Gunung Manglayang terlupakan, padahal di balik itu Gunung Manglayang menyuguhkan pesona alam yang tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang ada di Jawa Barat." sumber: Pikiran Rakyat