Showing posts with label Ulah. Show all posts
Showing posts with label Ulah. Show all posts

Monday, January 5, 2009

Sebesi: Sebuah Perjalanan 1

Lima belas menit pertama meninggalkan Dermaga Canti rasanya muncul penyesalan. Terbayang suasana yang nyaman di rumah, kasur, tv, makanan enak, dan tidur siang yang panjang. Bagaimana tidak, begitu masuk ke dalam kapal motor Timur Cahaya yang bermuatan sekitar 30 orang itu, goyangan ombak sudah terasa. Angin berhembus dari barat kencang sekali. Di kejauhan, buih putih gelombang air laut terlihat beriak-riak. Ya, perjalanan 1,5 jam ini akan terasa sangat lama dan panjang.

Benar saja, sekitar 1 mil dari Dermaga Canti, Timur Cahaya harus berjuang melawan gelombang yang datang dari arah depan. "Nanjak", dalam istilah orang-orang pulau Sebesi. Maksudnya kapal dalam posisi menanjak, melawan arus gelombang. Terlihat sang nahkoda berusaha mengendalikan kapalnya dengan lincah. Menghitung ombak dengan rumus 5-3, lima ombak besar pasti disusul tiga ombak kecil, itu kata mereka. Sementara itu, badan kapal yang terhempas seperti dibanting-banting, sehingga bunyi kayu gemretak terdengar ngeri. Ngeri kalau saja kapal penuh penumpang dan barang-barang ini serta beberapa sepeda motor di atasnya pecah.

Di saat demikian, dua orang tak tahu diri, yang merasa orang kota tertawa-tawa kegirangan. Bukan apa-apa, dibalik tawa itu ada rasa takut juga, ada rasa mual, ada rasa sesal. Tapi yang kuat ada rasa tantangan, puncak andrenalin yang mengental sepertinya. Makin tinggi gelombang, makin seru. Dan akhirnya teguran itu datang juga. "Mas, mas, jangan malah ketawa-ketawa. Berdoa!" ujar salah satu penumpang. Kaget, tentu saja, diperingatkan oleh penduduk lokal adalah sebuah fatwa haram yang harus dipatuhi. Sebagai pendatang yang baik prinsipnya tetap saja ungkapan lama "dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung".

Dua orang anak, satu bapak-bapak, dan satu orang ibu muntah dengan suksesnya. Semua terdiam, beberapa orang komat-kamit entah membaca doa atau lainnya. Namun, kami tersadar sedikit, ini memang di luar kewajaran sepertinya. Hujan yang ikut mendramatisir suasana tambah tidak enak. Dari jendela bisa terlihat gelombang susul menyusul hampir setinggi kapal. Kapal miring, membuat kami melorot kesamping dan harus berpegangan. Tuhan, saat itu juga aku ingat Dirimu.

Inilah kami, dua orang pencari sunyi, yang disesatkan oleh dua orang lain yang dua hari sebelumnya telah mengalami hal yang sama dan bahkan cukup heroik melawan angin barat dengan perahu jukung kecil..hahaha...kalian gila!

Monday, December 1, 2008

Persahabatan

Tawa



Amarah




Warna-warni persahabatan






Friday, April 25, 2008

Lanskap Segelas Yoghurt


Segelas lychee special yoghurt juice yang tersaji di meja makan menampakkan lelehan embun di sisi-sisi gelas. Di sampingnya sepiring kentang goreng dan sosis diiris-iris. Itu kombinasi yang paling ku gemari. Meskipun ada pilihan lain, seperti strawberry dengan kue-kue, keju, atau bahkan bakso.

Di Bandung, dalam seminggu aku bisa tiga kali ke tempat ini. Bahkan sesekali aku membawa teman-temanku dari luar kota untuk mencicipi. Meskipun kadang mereka telah memiliki referensi tempat sejenis, aku selalu menciptakan kondisi dimana mereka mau tidak mau harus mencoba tempat makan yang satu ini. Alasannya, pertama karena aku suka. Kedua, karena aku memang suka. No bargaining.

Di bawah pohon besar "Yoghurt Cisangkuy", aku mengambil sebutir lhycee dan mengunyahnya sambil menikmati rasa masamnya.

Aku lupa benar, kapan aku mulai menyukai lychee special yoghurt juice. Belum lama, sepulang kuliah biasanya aku sering berkumpul dengan teman-teman disini. Membicarakan tugas, persiapan penelitian, isu-isu mutakhir, hingga soal pribadi.

Ada rasa masam dan manis yang dingin serta bonus empat buah lychee dari dalam gelas seperti harta karun yang menyembul keluar dari dasar lautan yoghurt. Seperti kehidupan, tampaknya kombinasi rasa ini mewakili ruang-ruang dalam diri. Aku ingin menahan rasa masamnya di lidah selama mungkin seperti aku menahan rasa dari simpul-simpul sarafku. Karena tegukan pertama lychee special yoghurt juice ini telah membangkitkan sesuatu yang pernah aku kubur dalam-dalam. Aku harus menahannya supaya ia tak memberontak dan tak terkendali.
Dan untuk itulah aku harus datang sesering mungkin untuk menenangkannya.

Tegukan terakhir, temanku menyodorkan tulisannya. "Oya, aku lupa kalau kita disini untuk berdiskusi ya? Maafkan". Cakrawala tertutup rerimbunan daun dan dahan pohon sore itu.

Tuesday, March 4, 2008

BLBI, Salim, dan the Six Billion Rupiah Man


"Dulu uang bukan segalanya, tapi sekarang segalanya harus dengan uang" kata seorang teman sambil menggeram. Bahkan untuk memperoleh keadilan di depan hukum kita harus adu kuat uang. Siapa yang punya uang lebih besar dia yang menang. Padahal terkadang apayang diperjuangkan di depan hukum itu berkaitan dengan uang yang menjadi hak orang banyak.

Jumat lalu baru saja Kejaksaan Agung mengumumkan penghentian penyelidikan kasus "MegaKorupsi" dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang melibatkan obligor Bank BCA dan Bank BDNI yaitu Syamsul Nursalim. Dana yang gagal diusut itu nilainya tidak sedikit, 47 Triliun Rupiah. Dengan uang sebanyak itu, kita bisa memperbaiki seluruh gedung Sekolah yang rusak di Indonesia, atau memberikan beasiswa kepada 47000 orang cerdas yang ada di tanah air untuk menyerap ilmu di negeri paling maju jika asumsinya setiap orang membutuhkan dana 1 milyar rupiah. Atau, dengan dana setengahnya saja kita bisa membangun sebuah perusahaan super besar, dengan karyawan puluhan ribu yang bisa mengangkat ribuan gelandangan atau pengangguran menjadi pekerja. Setengahnya yang lain bisa kita bangun sebuah pusat riset teknologi pertanian paling modern di tanah air berhubung negara kita katanya negara agraris.....tapi, itu hanya mimpi. Buyar seketika, hanya dengan sebuah laporan setebal seratusan halaman.

Belum lagi, masih dengan kasus BLBI yang sama, dengan aktor yang sama pula, masih Salim Bersaudara, tak lain anak Syamsul Nursalim, Anthoni Salim. Yang ini lebih hebat, total uang rakyat yang lenyap entah kemana hampir52,7 triliun rupiah. Terbayang bukan dengan uang sebanyak itu apa yang bisa negara ini perbuat untuk memperbaiki kehidupan masyarakatnya yang makin sengsara ini.

Naasnya buat negeri ini, meskipun dulu ketika aset-asetnya disita oleh negara kedua taipan ini mengaku sudah tidak memiliki apa-apa lagi alias miskin, tapi jika kita perhatikan sekarang mereka lebih kaya di banding sebelum tahun 1998. Markas korporasinya bahkan dipindahkan ke Singapura. Lalu, darimana uangnya berasal?

Dibalik peristiwa sedih ketika sebuah keluarga, ibu dan seorang anak, di Makassar tewas mengenaskan karena kelaparan. Esoknya, seorang penegak hukum tertangkap basah menerima uang tunai sebanyak 660.000 Dollar AS, atau sekitar 6,1 Milyar Rupiah. Sedihnya lagi, si penegak hukum ini tidak lain adalah salah satu Ketua Tim 35 Penyelidik BLBI Kejaksaan Agung. Tetangkapnya juga hebat sekali, di rumah orang yang sebelumnya ia selidiki, syamsul nursalim. Mungkinkah laporan yang setebal seratusan halaman yang membuyarkan mimpi jutaan masyarakat Indonesia yang paling sengsara ini ditulis dengan tinta-tinta 6,1 Milyar Rupiah Jaksa Urip???

Uang, uang, uang...Integritas, idealisme, karir, nama baik, yang dibangun susah payah bertahun-tahun semua hancur seketika demi uang. Benarkan dari akar paling primitif manusia hidup ini memang demi uang?


"Money and Power are illusion...."

Thursday, February 21, 2008

Motorcycle drive by


Semenjak dibukanya tol Cipularang, praktis jalur Bogor ke arah Bandung dari Jakarta sepi pada hari-hari biasa, kecuali hari libur. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib para penduduk yang sebelumnya mengantungkan pendapatannnya dari ramainya jalur tersebut di waktu dulu. Warung-warung makan yang dulu ramai oleh kendaraan yang bersitirahat kini sepi. Penjaja makanan tampak lesu. Mungkin ribuan orang merosot penghidupannya dalam beberapa tahun terakhir.

Namun, yang makin tampak ramai adalah para penjaja "tubuh" yang berdiri dipinggir jalan menunggu calon pelanggan, padahal jumlah mereka mungkin lebih banyak dari jumlah orang yang melintas. Jalur Puncak, kini lebih seperti jalur prostitusi. Apakah ini juga akibat langsung dari hancurnya perekonomian di jalur tersebut.

Ketika melintas mulai dari Parung, kemudian Puncak, sampai Cipanas, puluhan kali perempuan-perempuan muda melambai-lambai tangan. Apakah mereka minta tumpangan? Saya pikir kita semua paham bukan? Aneh mungkin, tengah malam ada banyak perempuan berdiri di pinggir jalan dengan dandanan lengkap begitu mirip orang mau kondangan, apalagi jika dilihat sepintas mereka masih berumur belasan tahun.

Di Puncak, jangan kaget, kalau kita beristirahat sambil minum air hangat atau jagung bakar di sebuah warung kemudian ditawari "cewek". "Short time murah mas", "apalagi kalau hari biasa, dibanding hari libur murah banget". "Bisa lah di bawah 100rb". Hmmm...Kalau kita berombongan saya bayangkan tidak hanya satu orang yang akan menawari, mungkin bakal banyak mucikari berebut, sehingga anda semua yang hobi "jajan" bisa dapat "barang" eceran super murah mirip acara "great sale" di Mal-Mal.

Tapi satu hal, apakah dalam beberapa tahun ini, dalam hari-hari libur dimana banyak orang kaya Jakarta, Pejabat tinggi dari Menteri hingga Politisi wakil rakyat, bahkan Pemimpin daerahnya sendiri yang berlibur ke Villa-Villa-nya yang mewah, apakah mereka tidak menyaksikan hal serupa? Kalau mereka tahu, lalu dimana kepeduliannya? Bukankah ini tanggung jawab mereka sebagai orang yang digaji untuk menangani masalah masyarakat. Tidak kah mereka berpikir bahwa perempuan-perempuan belia itu "anak bangsa", anak mereka juga.

Saya kira, puluhan orang yang berdiri dipinggir jalan itu pada umumnya punya masalah satu, ketiadaan ekonomi. Sedihnya, orang-orang yang dibayar oleh negara dengan uang yang kita bayarkan melalui pajak tak berbuat banyak, melakukan pembiaran, tak peduli dengan keadaan yang terpampang di depan mata mereka. Berangkat haji mungkin lebih dari dua kali, tapi berangkat bertugas demi tanggung jawabnya hanya dan hanya jika "ada uangnya".

Jakarta -Bandung via Puncak, perjalanan yang menyenangkan tapi berat....

Tuesday, February 19, 2008

Teater Kehidupan Parung


menyusuri jalan panjang
kilau lampu menembus wajah-wajah ayu
tergores bulir air yang jatuh dari ujung daun

ia melewatinya satu persatu
mereka sekalian melambai-lambaikan tangan
memintanya berhenti dengan sungging senyuman

ia tidak ingin menangis sambil melaju tunduk sepanjang jalan itu
meskipun rintik-rintik hujan siap menggantikan air matanya
ia hanya ingin merintih lirih sambil melaju sendiri
dalam hujan rintik-rintik di jalan sepi pada suatu malam

Motorcycle Diaries, Parung-Puncak Bogor, 17 Februari 2008


sumber foto: http://kalipaksi.multiply.com/photos/album/30#5

Monday, February 11, 2008

Si Bulang: Bujang Petualang (Gunung Manglayang)_1

"Gw mau muncak nih, ikut yuk?". Waktu itu hari sabtu jam 3 sore.
"Oya? gunung apa? kapan berangkat?"
"Gunung Manglayang. Bentar lagi juga gw mau berangkat, jam 5-an gitu".
"Manglayang? baru denger gw. Dimana sih?"
"Itu tuh, gunung kecil yang keliatan dari belakang Kampus Unpad Jatinangor".
"Ya udah deh, gw ikut, tapi gw packing dulu bentar. Si Uan, loe ikut juga ya, huehehe supaya nambah koleksi foto friendster loe tuh".
"Ok deh, daripada bengong liburan gini".

Dan begitulah, akhirnya berangkat tiga orang bujang dari kota kembang menuju Jatinangor, bergabung dengan dua orang bujang lain yang sudah menunggu disana. Titik pertemuan kami adalah di kawasan kos-kosan padat di Jatinangor yang mengingatkan akan suasana yang sama di Jogja beberapa tahun yang lalu.

"Udah pernah ke Manglayang sebelumnya?"
"Belum".
"Berapa jam pendakian ke puncak kira-kira?"
"Nggak tau ya?"
"Lho...Nggak tanya ke temen atau orang yang udah pernah?"
"Nggak, tenang aja pasti ada petunjuk jalan yang di pasang kan disana".
"Jadi kita berlima masih buta ya". Dalam hati ada perasaan kurang enak.


Kami berlima berangkat menuju lokasi awal pendakian sekitar jam 8 malam, melewati kawasan bumi perkemahan Kiara Payung yang luas. Dari Buper, kemudian dilanjutkan menuju titik awal pendakian. Dalam perjalanan kami melewati tegalan-tegalan dan kali kecil serta kebun-kebun milik penduduk yang sebagian besar ditanami jagung, padi gogo, kol, sawi, dan tanaman hortikultur lainnya.

Tempat yang kami tuju ternyata sebuah warung kecil, yang sepertinya menjadi tempat terakhir bagi para pendaki yang ingin muncak. Disini para pendaki bisa menyiapkan air minum serta perbekalan yang lain. Warung tersebut dihuni oleh sebuah keluarga, yang kalau tidak salah dengar namanya Mang Syaukani. Si Mamang memberi petunjuk bahwa untuk menuju puncak kira-kira butuh waktu sekitar satu jam. Cukup cepat. Tapi Si Mamang memperingatkan bahwa jalurnya terjal dan licin.
Angin malam itu sangat kencang dan dingin, langit juga sepertinya kurang bersahabat, penuh awan tanpa titik cahaya satu pun. Kami memutuskan beristirahat sebentar, memesan kopi panas untuk menghangatkan badan. Waktu itu pukul 10 malam, dan ada kekhawatiran kalau terlalu cepat sampai di puncak kami akan menggigil kedinginan. Dari pengalaman, kalau tidak membawa perlengkapan yang memadai seperti tenda dome atau alat penghangat yang lain, jangan coba-coba terlalu lama nongkrong di puncak, hanya akan menyiksa diri karena dinginnya yang luar biasa, atau lebih parah lagi terserang badai. Lebih baik menyiapkan diri di tengah perjalanan, memasang tenda dan tidur, sambil menunggu waktu yang tepat menuju puncak dengan perhitungan waktu yang baik.

Tetapi tampaknya malam itu ada seorang rekan yang sudah tidak sabar ingin segera muncak, meski tidak membawa dome kita bisa sembunyi di balik sleepingbag, pungkasnya. Teman-teman yang lain rupanya tidak mengiyaan atau menolak, maka dimulailah perjalan kami dari titik awal pendakian tersebut.

"Gunung Manglayang (+1600 mdpl), disamping keindahan alamnya, di kawasan ini terdapat wisata alam Batu Kuda serta misteri yang berkembang di masyarakat yang tinggal di kaki Gunung Manglayang. Misteri wanita cantik yang menjelma menjadi seekor ular yang muncul di tengah Hutan Manglayang. Semua ini menjadi daya tarik tersendiri bagi Wisata Alam Gunung Manglayang. Gunung Manglayang yang menjulang tinggi terletak diantara perbatasan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Mungkin karena ketinggian dari gunung yang tidak terlalu tinggi, Gunung Manglayang terlupakan, padahal di balik itu Gunung Manglayang menyuguhkan pesona alam yang tidak kalah menariknya dengan gunung-gunung yang ada di Jawa Barat." sumber: Pikiran Rakyat


Monday, January 14, 2008

Mie: Makanan Semua Bangsa

Penampilannya bikin perut tambah laper, pingin buru-buru makan. Apalagi suasananya jowo banget, berhubung namanya "mie jawa", Gunung Kidul banget lah pokoknya. Musiknya juga nggak kalah ndayu-ndayu, gendingan semalam suntuk mirip orang mau kawinan, jelas banget bikin orang yang abis makan ngantuk nya tambah parah. Siang itu lengkap sudah, ngerjain tugas sambil makan dan ditemani dua perempuan cantik.

Tapi apa nyana, setelah makan dan hahahihi. Di perjalanan pulang ada perasaan nggak beres ma badan ini, kok lemes banget kayaknya. Perut detik per detik makin kacau, seperti ada gemuruh badai dibarengi puting beliung...wahh sampe rumah yang terjadi "longsor" dengan suksesnya di kamar mandi...lima jam terlewati dan malah makin parah, kepala jadi pusing dan demam.

Akhirnya...diputuskan ke dokter. Kata dokter: "Mas kena infeksi usus nih, makan apa tadi?"
wooo...ini ni pak dokter tersangkanya:

Sunday, November 18, 2007

The crossroad


Persimpangan demi persimpangan
Pilihan dan pilihan


"pada akhirnya hanya seberapa banyak kebaikan yang kita buat dibanding keburukan yang kita lakukan"



sumber foto: www.nationalgeographic.com

Saturday, October 6, 2007

retro-kausalitas



Jumat tengah hari, terik dan panas, sangat gerah rasanya. Puasa pula. Tidak hanya itu, seorang ibu-ibu yang kebetulan teman kuliah ku dengan wajah kusut dan memelas memohon bantuan menyalakan mobilnya yang mogok. Ibu yang malang. Hmm...tapi buatku, inikah cobaan di tengah hari setelah "hari tidur nasionalku" gagal karena khutbah jumat kali ini sangat menarik.

Setelah berlagak seperti montir amatir yang grogi karena kurang paham mesin mobil akhirnya di saat yang tepat aku ambil kesimpulan masalahnya ada di aki. Kayaknya mesti didorong. Dengan mengerahkan bala bantuan kaum mahasiswa S1 yang entah kenapa hobinya main kartu remi mulu, akhirnya mobilnya berhasil aku nyalakan.

Sampai di rumah, segera cepat-cepat aku nyalakan acara TV yang bulan ini rating-nya sedang naik, Adzan Maghrib! Kenyang dengan sop buah aku segera meluncur ke Ibu Kota Jakarta lagi.

Di tengah perjalanan tiba-tiba khutbah yang disampaikan khotib jumat tadi menggangguku. Dalam ceramahnya itu dia menyampaikan beberapa hadist Nabi dan hadist Qudsi yang salah satunya berbunyi:

Barangsiapa mengerjakan qiyamullail (shalat malam) pada malam tersebut karena mengharap ridha-Ku, maka diampuni dosanya yang lampau atau yang akan datang.

Aku sengaja memberi tekanan pada kata-kata diampuni dosanya yang lampau atau yang akan datang karena menurutku ini menarik. Benarkah kalau kita melaksanakan apa yang disunahkan dalam hadis tersebut maka di masa yang akan datang dosa-dosa yang kita lakukan secara otomatis diampuni. Ibaratnya tabungan,
auto debet lah. Bukankah selama ini ada hukum sebab akibat yang jelas bahwa apa yang kita lakukan akan ada akibatnya di masa yang akan datang. Bukan sebaliknya, apa yang kita lakukan di masa yang akan datang, misalnya dosa, ganjarannya sudah kita rasakan sejak sekarang.

Ingatanku melayang-layang melewati ruang waktu menuju tahun2 awal di Jogja. Pernah ku baca sebuah teori, retro-causality. Teori yang berangkat dari teori fisika kuantum ini secara umum menjelaskan kalau segala sesuatu sebenarnya berlaku asas retro kausalitas. Kalau A bisa mengakibatkan B di masa yang akan datang, maka sebaliknya B di masa yang akan datang bisa mengakibatkan A di masa sekarang. Kalau sesuatu bisa berlaku ke depan, maka mestinya dia juga bisa berlaku kebelakang. Pemikiran inilah yang kemudian melahirkan ide-ide tentang
time travel.

Sejak membaca buku-buku David C. Korten aku memang sedikit tidak percaya dengan ilmu exacta yang newtonian. Aku lebih percaya relativitas Einstein dan teori kuantumnya. Jadi ketika membaca teori retro kausalitas aku segera terdoktrin bahwa segala sesuatu adalah relatif dan mungkin.

Mungkin konsep sederhana tentang teori retro kausalitas ini bisa kita perhatikan dalam ilmu hukum. Ada asas retroaktif, atau hukum yang berlaku surut. Kalau kejahatan dilakukan ketika hukumnya belum dibuat maka seseorang yang melakukan kejahatan itu dapat dituntut dg hukum yang baru itu. Tapi kebetulan sistem hukum kita tidak memakai asas ini meskipun dalam beberapa kasus seperti Perpu Penanganan Bom Bali yang nyata-nyata berlaku surut.


Pertanyaannya sekarang, jangan-jangan keadaan kita sekarang sebenarnya akibat dari tindakan-tindakan kita di masa yang akan datang yang belum kita lakukan. Kebahagiaan atau kesenangan yang kita rasakan sekarang mungkin karena di masa yang akan datang kita banyak berbuat baik, begitu pun sebaliknya. Jadi kemungkinan juga, gerah, dan panas yang aku rasakan di hari jumat itu adalah akibat aku kurang ikhlas menolong ibu itu...Maaf Bu ya?

Memang tak ada yang mustahil di dunia kalau sudah menyangkut kehendak Tuhan...

Tuesday, September 25, 2007

Visit Indonesia Year 2008: Cintaku di Way Kambas

Beberapa hari yang lalu saya secara tidak sengaja menonton sebuah tayangan siaran langsung di sebuah stasiun tv nasional. Tema acara yang dibawakan oleh kementrian kebudayaan dan pariwisata adalah "tahun kunjungan Indonesia 2008, atau Visit Indonesia Year 2008". Acaranya sebenarnya membosankan dan jauh sekali dari bayangan saya. Nah, malam ini tiba-tiba saya teringat sebuah film yang pada tahun 1990-an cukup terkenal, terutama buat masyarakat Lampung, judulnya "cintaku di way kambas". Dulu seingat saya, film ini diputar di kampung-kampung melalui layar tancap di Provinsi Lampung, karena baik lokasi syuting dan cerita dalam film tersebut mengangkat nama provinsi penghasil kopi tersebut.
cuplikan film "cintaku di way kambas" (wikipedia)

Film tersebut dibintangi oleh Ira Wibowo yang menceritakan dua orang wanita, Mega (Ira) dan Intan (Rini S. Bono), yang sedang mengikuti rally mobil. Memang di tahun 1980 dan 1990-an, provinsi Lampung merupakan tempat favorit rally mobil, banyak event2 rally diselenggarakan di sana menyusul banyaknya perkebunan kelapa sawit dan karet maupun tebu yang memiliki jalan2 tracking tanah. Di awal cerita, mobil kedua wanita tersebut di hadang oleh kawanan gajah liar yang sedang melintas. Dan kebetulan di daerah tersebut sedang marak perburuan gajah untuk diambil gadingnya. Mereka akhirnya ditolong oleh Jaro seorang pelatih gajah di TN Way Kambas. Film ini memang tidak lain ingin mempopulerkan kawasan sekolah gajah tersebut kepada masyarakat Indonesia, terutama dalam rangka meningkatkan kunjungan wisata ke daerah tersebut. Kawasan wisata dan pelatihan gajah ini mengalami kejayaannya pada medio 1990-an. Dan dulu seingat saya, logo Visit Indonesia Year 1991 kalau tidak salah menggunakan gambar gajah.


Lalu apa khabar Way Kambas sekarang?

Akhir bulan Maret 2007 yang lalu, saya dan dua orang rekan berkesempatan berkunjung ke TN Way Kambas. Namun tujuan utama kunjungan kami sebenarnya bukanlah tempat pelatihan gajahnya, melainkan kawasan hutan konservasi way kanan yang juga masuk ke dalam kawasan TN Way Kambas. Hanya bedanya, jika tempat pelatihan gajah dapat dikunjung oleh masyarakat umum setiap waktu, hutan konservasi way kanan hanya bisa dikunjungi oleh orang-orang yang telah memiliki ijin khusus dari Kepala TN Way Kambas.

Dalam tulisan kali ini saya mungkin hanya akan menceritakan bagaimana kondisi Way Kanan dan Way Kambas melalui gambar-gambar hasil jepretan seorang rekan perjalanan saya.
Gambar di atas adalah pintu gerbang TN Nasional Way Kambas yang berupa pertigaan, jika mengikuti jalan utama yang berbelok ke kanan menuju pusat pelatihan gajah, maka jika lurus kita akan memasuki kawasan hutan way kanan dengan terlebih dahulu melewati sebuah pos polisi hutan (jagawana) yang disebut "plang ijo".

Buat yang suka petualangan alam liar, atau yang ingin mencoba cara berwisata yang baru, way kanan bisa menjadi salah satu alternatif. Ketika kami berkunjung kesana kebetulan ada seorang investor asal Australia yang telah bekerjasama dengan pihak setempat untuk menjadikan way kanan sebagai obyek wisata alam liar. Kalau ingin penginapan yang sedikit nyaman, tidak jauh dari plang ijo ada sebuah homestay bernama "kalpataru" yang bertarif 100rb-ab rupiah per malam, bisa untuk berkelompok 4 orang.

Jika kita melanjutkan perjalanan dengan berkendara motor dari plang ijo, kita akan menyusuri jalan kecil selebar mobil, berpasir putih padat dan batu dengan sisi kanan kiri berupa hutan hujan tropis (bekas hutan produksi). Selama menyusuri jalan tersebut kami menemui beberapa satwa liar yang melintas, seperti ayam hutan, dan burung-burung. Beberapa plang peringatan dibuat karena seringnya satwa liar yang melintas. Jika kita beruntung, kita bisa berpapasan dengan babi hutan, gajah liar, badak liar, beruang madu, tapir, kera ekor panjang, atau bahkan harimau sumatera (kalau ini kita mesti naik kendaraan mobil paling tidak). Sayang sekali dalam perjalanan tersebut kami hanya berpapasan dengan beberapa jejak dan sisa kotoran gajah .
Sekitar setengah jam kemudian, terdapat pertigaan, ke kanan merupakan wilayah Sumatran Rhino Sunctuary (SRS) atau pusat suaka badak sumatra. Disana terdapat beberapa badak yang berusaha dikembangbiakkan mengingat semakin terancamnya badak sumatra dari kepunahan. Kami menyempatkan diri berkunjung ke srs namun sayang sekali tidak berkesempatan menyaksikan badak secara langsung karena beberapa badak masih dalam proses karantina, terutama badak "andalas" yang baru saja datang dari cincinnatti, AS. Andalas saat ini menjadi ikon dan selebritis di SRS. Badak yang baru saja puber tersebut diharapkan bisa menjadi pejantan tangguh menggantikan seniornya yang gagal menghasilkan keturunan. Secara keseluruhan kompleks suaka tersebut sangat lengkap, dengan peneliti hingga dokter hewan serta pekerja dan peralatan modern, bahkan terhubung dengan internet melalui jaringan satelit.

Setengah jam berikutnya sampailah kita di kompleks resor way kanan, berupa pondokan-pondokan dan pos polisi hutan. kompleks resor ini tepat berada di samping sebuah sungai.
foto di atas adalah rumah panggung tempat kami menginap. kami hanya menginap satu malam, dengan biaya mengganti solar untuk penerangan sebesar 100rb rupiah.
bapak-bapak polisi hutan di resor way kanan sangat ramah-ramah. bahkan mereka mengajak kami berpatroli selama tiga hari di hutan....:) ajakan yang membuat kami secara spontan langsung menolak...bkan karena takut, tapi memang karena kami tidak berencana untuk menginap lebih dari satu malam.Patroli dengan speed boat, mestinya lebih menarik.Bagi yang ingin menyusuri sungai menuju muara, atau ingin menyaksikan satwa-satwa seperti buaya muara dan burung-burung di kawasan sungai, kita bisa menyewa speed boat yang tersedia disana. Dengan 400rb-an kita bisa berpetualang menuju muara yang jaraknya sekitar 80 km atau 2 jam perjalanan...Kalau kita berkelompok mungkin biaya sebesar itu tak terasa bila dibandingkan dengan pengalaman yang saya yakin pasti mengasyikkan.
Namun, ada laternatif lain jika memang kita ingin berjalan santai direrimbunan hutan, tidak jauh dari kompleks terdapat jungle track, berupa jalan setapak yang telah di pasangi blok-blok semen untuk mempermudah pejalan kaki. Dengan ditemani seorang jagawana bersenjata lengkap kita bisa menemui beberapa flora dan fauna liar dan langka selama menyusuri jalan tersebut. Jungle track ini jarak tempuhnya hanya sekitar 1 jam, dan memutar kembali ke kompleks resor. Sempat di perjalanan kami berpapasan dengan babi hutan yang mungkin sedang berkubang. Cukup membuat sedikit ngeri, tetapi jangan kuatir karena ada bapak jagawana yang siap sedia menjaga kita.Hari berikutnya, ketika kami mengakhiri petualangan di kawasan konservasi way kanan, kami menyempatkan berkunjung ke kawasan pelatihan gajah yang jaraknya sekitar setengah jam perjalanan lagi dari gerbang masuk TN Way Kambas. Memasuki kompleks sekolah gajah, kami berpapasan dengan seekor gajah kecil yang lucu dan induknya. Sorot matanya nakal, dan sepertinya tipikal gajah yang usil. Kami memberi nama anak gajah yang lucu itu "bona", entah sebesar apa bona sekarang ya....
Sekolah gajah yang ada saat ini berbeda dengan di tahun 1990-an...menyedihkan. Dulu seingat saya meskipun hari biasa, bukan hari libur, kawasan ini tetap ramai. Baik oleh turis asing maupun domestik, atau bahkan para peniliti. Namun sekarang, jika kita memasuki kawasan ini, aura nya berbeda, sangat lesu dan tidak bergairah. Banyak hal mungkin jadi penyebabnya, mulai dari mismanagement, sampai kurangnya perhatian pemerintah. Masyarakat saat ini pun begitu, objek wisata lokal atau di dalam negeri kurang dimintai oleh masyarakat kita sendiri. Banyak yang lebih memilih berwisata ke luar negeri dan menghabiskan uangnya di negeri orang. Padahal banyak hal unik dan indah di negeri ini, bahkan terlalu banyak sehingga tidak mungkin kita bisa kunjungi semua seumur hidup kita.Oya, jika bepergian ke pulau sumatera terutama Lampung, jangan lupa kunjungi pantainya. Sisakan satu hari untuk menyusuri pantai barat provinsi lampung, dari ibu kota Bandar Lampung menuju Liwa melalui Kota Agung...Selama perjalanan kita akan disuguhi pemandangan pantai yang luar biasa indah, terutama bila memasuki Liwa. Pantai barat Lampung ini berhadapan langsung dengan samudera hindia. Meskipun dekat pantai udaranya sejuk karena berupa dataran tinggi. Silahkan klik blog tetangga ini yang berisi cerita petualagan mereka di kawasan pantai barat Lampung: http://yenceu.multiply.com/photos/album/135

Ayo jalan-jalan ke Lampung!



***semua hak cipta atas foto-foto di atas ada pada Indie (www.trulyjogja.com) kecuali cuplikan foto film "cintaku di way kambas".


Thursday, September 20, 2007

waktu, kali ini berjalan sangat lambat


Perjalanan dari Bandung ke Jakarta. Travel yang kutumpangi tujuan akhirnya adalah Sarinah, sebuah pusat perbelanjaan di pusat Jakarta. Tidak seperti biasanya aku melalui jalur ini, ada semacam kontrak yang harus kutandatangani di sebuah Lembaga NGO tepat di gedung seberang Sarinah.

Karena memesan cukup terlambat, terpaksa kuperoleh tempat duduk paling belakang. Namun aku sedikit beruntung, karena bangku disebelahku kosong, sementara di ujung sebelah kanan ada satu orang pria yang duduk manis lebih dulu ketika aku masuk.

Travel melaju dengan kencang di jalan Tol Cipularang Bandung-Jakarta yang lengang di tengah hari. Saat itu aku mengenakan celana pendek lapangan yang bisa berubah menjadi panjang jika diperlukan :p dan jaket outdoor favoritku, dan syukurlah AC tidak begitu dingin. Rencananya, sesampainya di Sarinah aku harus mencari toilet untuk menyaru sebagai layaknya pekerja jakarta, ber-safari.

Tengah hari dan berpuasa membuatku sedikit mengantuk. Setelah solat di kendaraan, aku berniat tidur, katanya tidurnya orang berpuasa ibadah, ah cocok sekali. Akan tetapi, ada yang aneh dengan pria disebelahku. Dari bahasa tubuhnya menunjukkan kalau dia memperhatikanku. Ada apa dengan mas ini, adakah yang aneh dengan ku? Bercelana pendek tampak kekanakankah? Ataukah karena solatku salah? Atau..jangan2 dia terkesima dengan lutut hitamku yang tak tertutupi sehelai benang pun...huehehehe....ah tidak, aku tak ingin berburuk sangka, biarpun pria ini penampilannya masuk ke dalam definisiku tentang manusia metroseksual dengan parfum yang menyebar kemana-mana, kulit putih bersih, pakaian rapi berkerah berpadu celana jeans dan sepatu kulit mengkilap, rambut hitam berminyak, serta hp nokia N-Series, aku harap dia bukan tipe "jeruk makan jeruk". Mungkin dia hanya ingin mengajak mengobrol.

Dan benar, dia rupanya melemparkan jurus pembuka yang usang..."turun di mana mas?"...Awal yang membuatku tak bisa mengelak. Obrolan pun mengalir. Makin jauh, makin aku menjangkau manusia satu ini, ada yang membuatku tak nyaman dengan pandangan matanya...:) Tiba-tiba aku ingin cepat-cepat sampai di Jakarta...

Thursday, September 13, 2007

My Life, My Adventure: Merbabu 2 (Habis)

Setelah cukup kenyang dan puas mengobrol macam-macam seputar Merbabu kami berdua kembali ke Base Camp Pak Narto tempat menitipkan tas sebelumnya. Kami disambut oleh seorang bapak-bapak yang menggendong anaknya. Ternyata Pak Narto yang dimaksud sudah tidak tinggal di rumah tersebut, yang ada kini adalah anak-anaknya. Pak Narto sendiri telah menetap di Kampar Riau, menyusul adiknya yang tampaknya telah sukses sebagai perantau disana. Aha, dunia memang selebar daun melinjo, Kampar khan tanah kelahiranku, dan jarak tempat Pak Narto ke kampung halamanku hanya bersebelahan kecamatan. Sungguh kebetulan.


Selanjutnya tepat pukul 5 sore kami bersiap mendaki. Rekan seperjalananku menitipkan laptop-nya di tempat Pak Narto (ciri masyarakat modern yang aneh, kemana-mana menenteng laptop yang gak penting untuk sebuah liburan).


Pelajaran 3: jangan membawa barang-barang yang tidak perlu dan membebankan

Di depan telah ada beberapa pendaki yang mulai berkumpul dan ada yang malah memasang dome karena baru berencana mulai mendaki malam nanti. Dan pendakian pun kami mulai.


Gunung Merbabu terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali-Jawa Tengah. Gunung Merbabu berasal dari kata “meru” yang berarti gunung dan “babu” yang berarti wanita. Jadi Merbabu mempunyai arti Gunung Wanita.

Gunung Merbabu mempunyai ketinggian 3142 meter diatas permukaan laut(mdpl) serta terdapat tiga buah puncak yakni puncak Antena atau Pasar Bubrah (2800m dpl), puncak Syarif(3119m dpl) dan puncak Kenteng Songo(3142m dpl). Merbabu memang mempunyai tantangan untuk didaki. Medan Gunung Merbabu terbuka dan berbukit-bukit.


Gunung Merbabu termasuk gunung yang tidak aktif karena t
ergolong gunungapi tua di pulau Jawa ini mempunyai lima buah kawah, yaitu: kawah Condrodimuko, kawah Kombang, kawah Kendang, kawah Rebab, dan kawah Sambernyowo.


Masyarakat disekitar Gunung Merbabu kebanyakan bermata pencaharian sebagai petani. Itu dapat dilihat karena hutan Gunung Merbabu menjadi ladang pertanian. Selain menjadi petani penduduk sekitar ada yang menjadi porter atau pemandu sebagai kerjaan sampingan karena hasil yang diperoleh lebih menguntungkan.

Sebenarnya bila kita ingin melakukan pendakian menuju ke puncak Gunung Merbabu terdapat tiga pilihan jalur, yaitu: jalur Kopeng, jalur Selo, dan jalur Wekas. Jalur Selo juga merupakan jalur pendakian menuju puncak Gunung Merapi. Biasanya banyak pendaki memulai pendakiannya dari jalur Kopeng dan turun melalui jalur Selo atau sebaliknya. Pendakian kali ini kami berdua memilih jalur Selo karena salah satu dari kami sebelumnya pernah melalui jalur Wekas.

Mulai Base Camp Pak Narto kita akan melalui setapak hutan pinus. Kemudian memasuki hutan sekunder. Pada dasarnya akan memutari sebuah gunung kecil yang berada di sebelah kanan dan lembah disebelah kiri kita. Jalurnya sendiri cukup jelas dan tidak terlalu curam hanya saja karena ini merupakan jalur lama sehingga mulai menjadi jalur air dan sedikit licin. Total waktu pendakian melalui jalur Selo ke puncak Kenteng Songo memakan waktu 6-7 jam dan turunnya 5 jam.

Setelah kira-kira 1 jam kami mulai memasuki tempat yang terbuka, Pos 1 telah terlewati. Akhirnya kami sampai di Pos 2 sekitar pukul 7 malam. Tidak ada tanda di Pos 2 ini, hanya berupa pelataran berbentuk bukit. Di tempat ini kami menemukan pendaki lain yang rupanya sedang beristirahat di bawah tenda bivak, mereka sangat lelap, dengkurannya terdengar keras. Kami memutuskan untuk bersitirahat dan membuka dome ditempat ini, mengambil posisi yang cantik tepat menghadap kearah kota Boyolali dan Solo, semua terlihat jelas, lampu-lampu kota. Langit pun rupanya menyambut kami dengan suka cita.

Seperti biasa, ngecamp begini paling asyik jika ngobrol sambil cengar cengir dan menikmati kopi, kacang dan camilan yang sudah siap. Setelah puas ngobrol kami bersiap untuk tidur dan berencana bangun jam 11 malam untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Hampir kami larut dalam mimipi tiba-tiba serombongan pedaki datang, ramai sekali. Tapi mereka hanya istirahat sebentar dan sayup-sayup suaranya hilang ditelan angin gunung. Dingin menusuk sekujur tubuh, kami pulas tertidur. Tepat pukul 11 malam kami terbangun, dan segera membereskan dome dan peralatan.

Tiga orang pendaki dari Solo ikut bergabung dengan kami. Dari Pos 2 ini jalur menjadi terjal dan licin. Selepas jalan setapak kami tiba sebuah dataran luas yang disebut Watu Tulis, karena di sini ada sebuah batu berukuran sangat besar. Kalau siang hari pemandangan di sini sangat indah. Memang di hadapan saya saat ini ada beberapa bukit membentang. Tapi disini sangat dingin, mungkin karena angin gunung turun perlahan dan berkumpul di lembah ini.


Minggu, 9 September 2007

Dari Watu Tulis, kami harus melewati dua bukit lagi, dan tinggi-tinggi..hehehe…kami mulai lelah. Ada plus minusnya juga berjalan malam. Kami hanya dipandu oleh sorot senter. Jalurnya tidak begitu terlihat, harus ekstra hati–hati. Tapi enaknya pandangan kita terbatas, tidak bisa melihat jauh sehingga pandangan hanya fokus ke jalur. Tidak mikir macam–macam. Beda dengan siang hari, tanjakan jauh di depan sudah kelihatan, tanjakan di depan mata masih panjang.


Sekitar jam 3 pagi kami semua akhirnya tiba di sebuah lapangan rumput kecil yang disebut Savana 1. Konon Edelweis Merbabu harumnya paling wangi. Di sini rekanku mulai kehilangan semangat untuk mencapai puncak. Tapi aku hasut terus, kapan lagi coba? Jarang ada kesempatan begini.


Akhirnya kami melanjutkan perjalanan. Dua bukit terlewati dan kami tiba di Savana 2. Banyak Edelweiss di sini. Pilihan lain untuk nge-camp, tempatnya lumayan lapang dan tertutup. Tidak jauh berjalan dari tempat ini kembali semangat rekanku diuji. Dia memutuskan tetap di persimpangan bukit karena terlalu lelah. Dan memilih menjaga carrier-carrier kami. Aku dipersilahkan melanjutkan mencapai puncak yang sudah terlihat jelas.


Waktu itu jam 5 pagi. Ya sunrise !..Dari atas bukit Savana 2 fajar terlihat cantik luar biasa. Apalagi Mars sang bintang fajar dan Bulan masih tampak terlihat jelas di kaki langit selatan. Subhanallah memang bagus banget, Golden time buat motret.


Puncak memang sudah dekat, satu bukit lagi kawan…ayolah, kalau aku sampai di puncak nanti aku teriaki ya? “Ok deh, kamu bawa sekalian kameraku, takut aku nggak bisa sampe lagi”. Alhamdullilah jam 6 pagi saya tiba di puncak Gunung Merbabu. Dengan dua kamera saya abadikan semua momen yang bisa saya tangkap. Dan ketika menengok kearah bawah jalur pendakian puncak, tiba-tiba saya melihat rekan saya sudah tergopoh-gopoh, aha! Sudah dekat kawan, tinggal selangkah lagi! Ayo! Dan akhirnya dia berhasil…Kami tertawa girang…


Pelajaran 4: jangan mudah menyerah!


Total waktu pendakian melalui jalur Selo ini ke puncak Kenteng Songo memakan waktu 6-7 jam. Cuaca cerah, Merbabu secara keseluruhan sangat cantik.

Jam 9 pagi memutuskan kembali turun. Dan jam 2 siang kami sudah tiba di Base Camp. Disambut nasi telor ceplok dan teh panas, wahhh lezatnya tiada tara……..Perjalanan dilanjutkan lagi dengan bus, kembali ke Jogja. Perjalanan yang melelahkan tapi juga menyenangkan.


Alhamdulillah, terimakasih untuk semuanya Tuhan. Sampai berjumpa lagi di perjalanan berikutnya.


NB: album pendakian Merbabu bisa diklik disini


Wednesday, September 12, 2007

My Life, My Adventure: Merbabu 1

Semeru ku damba, puncak Merbabu ku gapai

Waktu luang amatlah mahal. Kami yang semula berhasrat sekali ingin mendaki Semeru, berubah menjadi Bromo, dan tiba-tiba berbelok ke Merbabu, ceritanya terlalu sederhana untuk dituliskan. Lebih mirip kata-kataku kepada seorang teman, "perjalanan yang tanpa tujuan" sepertinya kali ini menjadi kenyataan.


Sabtu, 8 September 2007

Setelah repacking dan mengecheck segala peralatan sejenak, kami kemudian menuju terminal Giwangan Jogja, ditemani dua orang teman yang semula ingin ikut namun membatalkannya secara tiba-tiba tepat ketika kami sampai di terminal. Tapi itu tdak masalah buatku dan teman seperjalananku yang setia, bagi kami berdua ini soal komitmen dan waktu yang mahal tadi. Sungguh, sangat sulit mencari waktu luang seperti ini di kemudian hari.


Dari Giwangan kami naik bus “sumber kencono” jurusan Surabaya yang terkenal garang di jalanan tepat pukul 09:00. Rencananya kami akan berhenti di Mojokerto. Tujuan akhir kami adalah Bromo. M
emasuki kota Klaten, tiba-tiba HP rekanku berdering. Entah apa yang mereka bicarakan tepatnya, tapi tampak aura tak enak menyelinap dari sela-sela kaca bus ini. Wajah rekanku mengerenyit sedih dan nelangsa.


“Eh, klo di Mojokerto ada warnet nggak ya?” spontan dia bertanya setelah menutup HP nya. “Mungkin ada sih, emang kenapa?” aku balik bertanya. “Aku lupa kalo masih ada kerjaan belum selesai, dan sore ini jam 5 deadline-nya, atau di Bromo ada hotspot?”. Benar kiranya, ada yang tidak beres “Wah mana aku tahu, tapi lebih baik kita pikir2 lagi, sudah yakinkah kita ke Bromo sekarang?”

Pelajaran 1: jangan membawa pekerjaan ketika berlibur

“Gimana kalau ke Merbabu? waktu kita nggak habis di jalan, aku bisa minta diundur besok pagi atau siang kerjaanku”. “Aku sih Ok aja, lagian Merbabu lebih baik ketimbang Bromo, Bromo bkn untuk mendaki, nggak ada tantangan, dan kebetulan aku sudah pernah kesana” jawabku. Dan dimulailah segala pertimbangan untuk merubah arah perjalanan, sampai-sampai kami ngelantur membicarakan teknik-teknik bernegosiasi dalam bisnis dan pekerjaan gaya Roger Dawson.


Terminal Klaten sudah terlewati beberapa ratus meter, dan tiket bus sudah terbayar 70rb. Tiba-tiba “ya sudah kita berhenti disini aja, kita ke Merbabu!”. “Damn! Aku suka, ini baru keren, kita emang petualang sejati!” teriakku. Akhirnya kami minta bus berhenti saat itu juga. Setelah bus berlalu, kami tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, menertawakan ketololan kami sendiri. Angin semilir di Klaten menerpa wajahku, sejuk.


Bertanya sejenak kepada seorang Bapak dan istrinya angkutan menuju terminal, kami kemudian bergegas meluncur ke terminal Klaten. Ongkosnya 5rb untuk dua orang.


Sesampainya di terminal Klaten kami diarahkan oleh seorang ibu-ibu penjaja makanan untuk naik sebuah bus kecil yang menuju ke Boyolali. Tak perlu menunggu lama, akhirnya bus yang ditunggu datang juga. Beruntunglah kami bisa berbahasa jawa, basa-basi sedikit, kernet pun kami korek keterangannya tentang jalur menuju Merbabu. Sang kernet ternyata lebih bocor dari yang ku kira, dia ngajak ngobrol terus, bisa-bisa nggak dapet penumpang nanti pikirku.

Pelajaran 2: pelajari bahasa lokal, akan seperti di rumah sendiri dan pasti banyak membantu


Mas kernet menurunkan kami di sebuah perempatan sebelum terminal Boyolali, ongkos yang harus kami bayar 12rb untuk dua orang. Menurutnya disitulah banyak bus-bus kearah Selo (kota kecil di antara Merapi dan Merbabu, tempat awal pendakian).


Setelah turun, perut terasa lapar. Sebuah bus sedang ngetem menunggu penumpang. Seorang laki-laki setengah baya menawari angkutan menuju pasar Cepogo, tempat transit sebelum Selo, ongkosnya 6rb. Katanya sekarang tidak ada bus yang langsung ke Selo. Berhubung kami sudah menahan lapar, dan dia mengiming-imingi warung makan di Pasar Cepogo berderet-deret banyaknya, kami terima saja ajakannya.


Jalanan terus menanjak. Aku pribadi benar-benar menikmati perjalanan ini. Menikmati begitu beragamnya orang-orang di dalam bus, bau, dan kotornya adalah warna warni. Tidak ada yang lebih indah dari melihat senyum-senyum ramah mereka. Meski berdesakan dengan anak sekolah, bu guru, orang tua, ibu-ibu tua pedagang, bapak dan anaknya, aku segera akrab dengan suasana ini. Yang ada hanya tawa dan senyum ceria semua orang. Pernahkah kita temui suasana ini di Busway Jakarta? Impiku, semoga waktu tak tertinggal jauh untukku menikmati suasana ini lebih lama lagi.


Pasar Cepogo, kami segera menuju sebuah warung makan. Namanya Warung Makan Ngangeni. Di warung ini kami segera memesan makanan dan numpang mencharge HP dan Batere Camera. Sambil menunggu makan siap, kami mencari peralatan yang kurang, terutama senter.

Setelah membayar makan siang, dan basa-basi berterima kasih sedikit. Kami menuju antrian bus yang ngetem. “Mas mau naik di atap nggak? Coba aja, aman kok” sang sopir menawarkan. “Wah perlu dicoba nih, kayaknya seru, OK Pak” aku langsung naik ke atap bus.


Ini pertama kalinya aku naik bus, di atap. Ada ngeri sedikit, apalagi jalan yang bakal kami lalui bkan jalan raya datar, tapi bergunung-gunung dan berkelok-kelok. Hahaha, bukankah ini yang kami cari. Dan terbukti ternyata mengasikkan. Apalagi melihat tiga orang anak sekolah yang juga naik di atap begitu berani turun dari tangga meski bus masih melaju. Aku langsung membayangkan, dulu waktu aku kecil aku juga tak takut apapun. Mengapa orang dewasa lebih takut dan cenderung mudah khawatir ya?


Setelah menikmati perjalanan yang mendebarkan dan pemandangan yang indah di kanan kiri jurang, kemudian sampailah kami di kawasan wisata Selo Pass. Kami berhenti di sebuah warung, milik Bu Menik yang ramah dan putrinya yang lucu setelah membayar ongkos 6rb. Di warung Bu Menik kami lengkapi logistik kami yang kurang. Bu Menik bercerita kalau banyak pendaki yang mampir ke warungnya, bahkan tengah malam ketika warungnya telah tutup kerap ia ditelpon oleh pendaki yang butuh logistik.

Setelah ngobrol beberapa menit, kami bermaksud melanjutkan perjalanan menuju Base Camp dengan berjalan kaki. Namun kami beristirahat sejenak di sebuah Masjid di samping Pos Polisi Selo tepat di seberang warung Bu Menik. Setelah Solat dan repacking. Kami langsung menuju Base Camp.

Berpapasan dengan orang-orang yang lewat, sungguh nyaman. Mereka ramah-ramah. Meskipun membawa beban mereka tetap menyapa dengan halus.

Tampak Merapi di selatan.

Dan sampailah kami di Base Camp Pak Narto. Rumah terakhir di ujung Desa. Tempat para pendaki beristirahat dan menyiapkan diri sebelum benar-benar memulai pendakian. Rupanya pemilik rumah tidak di tempat. Rekanku sudah mulai lapar lagi, mungkin karena udara dingin membuat kami mudah lapar. Akhirnya kami mencari warung lain, rumah pak Patman yang juga menjadi base camp rupanya menjual makanan, nasi dan telor ceplok plus kerupuk serta teh panas, cukup enak. Sambil ngobrol-ngobrol dengan Pak Patman tentang informasi mengenai pendakian Merbabu kami mulai kedinginan, matahari rupanya hampir tergelincir di barat.

Pantangan yang harus dipatuhi pada waktu mendaki :

Jangan Mengeluh

Hindari kata-kata kotor

Hindari perbuatan mesum

Jangan melamun

Jangan buang air besar atau kecil di daerah yang dikeramatkan

Jangan memakai pakaian warna merah dan hijau


NB: album pendakian Merbabu bisa diklik disini


Wednesday, August 29, 2007

Perbincangan II

saat itu, perbincangan kita alangkah tanpa batas
perbincangan yang kita pintal dulu
alangkah seumpama siswa-siswa yang bebas,
sungguh seperti siswa-siswa di kelas,
kelas-kelas dan siswa-siswa, dan kelas-kelas...#

benarkah itu engkau? ataukah kau tak sengaja menekan namaku di ponselmu? mungkin aku salah mengenali suaramu kali ini. tapi gugupmu aku tahu. pernah suatu masa dalam hidupku ada gugup yang sama. gugupmu menakzimiku akan kenangan kita dulu. ketika kita berpakaian putih abu-abu.

"oh tidak, aku hanya ingin menghubungi teman-teman lamaku". ya kita memang teman lama. lama sekali. hingga aku pun lupa suaramu. aku takzim. aku tahu kamu tak ingin memulai, aku pun begitu. kenangan itu terlalu manis dan pahit. hingga tak adil jika hanya kita ungkit yang manis.

cukuplah hati, saat itu kamulah yang memenuhi duniaku. tapi itulah yang membuatku tak bisa melakukan apa pun, kecuali membebaskanmu, meluaskan pandanganmu. dan kubiarkan pandanganmu berjalan pada lelaki lain di luarku. kubiarkan kamu bercerita tentang semuanya, tapi bukan tentang kita.

aku pernah membuatmu marah. ah, terlalu sering bahkan. ketika kamu cemas, aku seperti meringankan ketakutanmu. ketika kamu ingin berbagi, aku seperti berlari. ketika kamu menangis, aku malah memberi lelucon basi. ketika kamu menantangku, aku meminum minyak anginmu, sungguh tanpa batas bukan?

kita duduk berjajar, sehingga apapun yang aku lakukan kamu tahu. jawaban ujianku pun kamu tahu, bahkan nyaris sama denganmu. hasilnya, kampus kita pun sama kemudian. tapi sejak pecah tangis mu yang terakhir untukkku, duduk kita tak lagi berjajar. pelan-pelan, aku tak lagi mengenali suaramu. aku kehilangan garis edarmu, kau pun begitu.


"Eh iya, kamu ingat kita pernah tertidur di kelas? waktu itu kita ditertawai teman-teman". ah, aku ingat. dengan mengingatnya aku merasa, ada satu fase dalam hidupku yang demikian bermutu.