Wednesday, September 12, 2007

My Life, My Adventure: Merbabu 1

Semeru ku damba, puncak Merbabu ku gapai

Waktu luang amatlah mahal. Kami yang semula berhasrat sekali ingin mendaki Semeru, berubah menjadi Bromo, dan tiba-tiba berbelok ke Merbabu, ceritanya terlalu sederhana untuk dituliskan. Lebih mirip kata-kataku kepada seorang teman, "perjalanan yang tanpa tujuan" sepertinya kali ini menjadi kenyataan.


Sabtu, 8 September 2007

Setelah repacking dan mengecheck segala peralatan sejenak, kami kemudian menuju terminal Giwangan Jogja, ditemani dua orang teman yang semula ingin ikut namun membatalkannya secara tiba-tiba tepat ketika kami sampai di terminal. Tapi itu tdak masalah buatku dan teman seperjalananku yang setia, bagi kami berdua ini soal komitmen dan waktu yang mahal tadi. Sungguh, sangat sulit mencari waktu luang seperti ini di kemudian hari.


Dari Giwangan kami naik bus “sumber kencono” jurusan Surabaya yang terkenal garang di jalanan tepat pukul 09:00. Rencananya kami akan berhenti di Mojokerto. Tujuan akhir kami adalah Bromo. M
emasuki kota Klaten, tiba-tiba HP rekanku berdering. Entah apa yang mereka bicarakan tepatnya, tapi tampak aura tak enak menyelinap dari sela-sela kaca bus ini. Wajah rekanku mengerenyit sedih dan nelangsa.


“Eh, klo di Mojokerto ada warnet nggak ya?” spontan dia bertanya setelah menutup HP nya. “Mungkin ada sih, emang kenapa?” aku balik bertanya. “Aku lupa kalo masih ada kerjaan belum selesai, dan sore ini jam 5 deadline-nya, atau di Bromo ada hotspot?”. Benar kiranya, ada yang tidak beres “Wah mana aku tahu, tapi lebih baik kita pikir2 lagi, sudah yakinkah kita ke Bromo sekarang?”

Pelajaran 1: jangan membawa pekerjaan ketika berlibur

“Gimana kalau ke Merbabu? waktu kita nggak habis di jalan, aku bisa minta diundur besok pagi atau siang kerjaanku”. “Aku sih Ok aja, lagian Merbabu lebih baik ketimbang Bromo, Bromo bkn untuk mendaki, nggak ada tantangan, dan kebetulan aku sudah pernah kesana” jawabku. Dan dimulailah segala pertimbangan untuk merubah arah perjalanan, sampai-sampai kami ngelantur membicarakan teknik-teknik bernegosiasi dalam bisnis dan pekerjaan gaya Roger Dawson.


Terminal Klaten sudah terlewati beberapa ratus meter, dan tiket bus sudah terbayar 70rb. Tiba-tiba “ya sudah kita berhenti disini aja, kita ke Merbabu!”. “Damn! Aku suka, ini baru keren, kita emang petualang sejati!” teriakku. Akhirnya kami minta bus berhenti saat itu juga. Setelah bus berlalu, kami tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, menertawakan ketololan kami sendiri. Angin semilir di Klaten menerpa wajahku, sejuk.


Bertanya sejenak kepada seorang Bapak dan istrinya angkutan menuju terminal, kami kemudian bergegas meluncur ke terminal Klaten. Ongkosnya 5rb untuk dua orang.


Sesampainya di terminal Klaten kami diarahkan oleh seorang ibu-ibu penjaja makanan untuk naik sebuah bus kecil yang menuju ke Boyolali. Tak perlu menunggu lama, akhirnya bus yang ditunggu datang juga. Beruntunglah kami bisa berbahasa jawa, basa-basi sedikit, kernet pun kami korek keterangannya tentang jalur menuju Merbabu. Sang kernet ternyata lebih bocor dari yang ku kira, dia ngajak ngobrol terus, bisa-bisa nggak dapet penumpang nanti pikirku.

Pelajaran 2: pelajari bahasa lokal, akan seperti di rumah sendiri dan pasti banyak membantu


Mas kernet menurunkan kami di sebuah perempatan sebelum terminal Boyolali, ongkos yang harus kami bayar 12rb untuk dua orang. Menurutnya disitulah banyak bus-bus kearah Selo (kota kecil di antara Merapi dan Merbabu, tempat awal pendakian).


Setelah turun, perut terasa lapar. Sebuah bus sedang ngetem menunggu penumpang. Seorang laki-laki setengah baya menawari angkutan menuju pasar Cepogo, tempat transit sebelum Selo, ongkosnya 6rb. Katanya sekarang tidak ada bus yang langsung ke Selo. Berhubung kami sudah menahan lapar, dan dia mengiming-imingi warung makan di Pasar Cepogo berderet-deret banyaknya, kami terima saja ajakannya.


Jalanan terus menanjak. Aku pribadi benar-benar menikmati perjalanan ini. Menikmati begitu beragamnya orang-orang di dalam bus, bau, dan kotornya adalah warna warni. Tidak ada yang lebih indah dari melihat senyum-senyum ramah mereka. Meski berdesakan dengan anak sekolah, bu guru, orang tua, ibu-ibu tua pedagang, bapak dan anaknya, aku segera akrab dengan suasana ini. Yang ada hanya tawa dan senyum ceria semua orang. Pernahkah kita temui suasana ini di Busway Jakarta? Impiku, semoga waktu tak tertinggal jauh untukku menikmati suasana ini lebih lama lagi.


Pasar Cepogo, kami segera menuju sebuah warung makan. Namanya Warung Makan Ngangeni. Di warung ini kami segera memesan makanan dan numpang mencharge HP dan Batere Camera. Sambil menunggu makan siap, kami mencari peralatan yang kurang, terutama senter.

Setelah membayar makan siang, dan basa-basi berterima kasih sedikit. Kami menuju antrian bus yang ngetem. “Mas mau naik di atap nggak? Coba aja, aman kok” sang sopir menawarkan. “Wah perlu dicoba nih, kayaknya seru, OK Pak” aku langsung naik ke atap bus.


Ini pertama kalinya aku naik bus, di atap. Ada ngeri sedikit, apalagi jalan yang bakal kami lalui bkan jalan raya datar, tapi bergunung-gunung dan berkelok-kelok. Hahaha, bukankah ini yang kami cari. Dan terbukti ternyata mengasikkan. Apalagi melihat tiga orang anak sekolah yang juga naik di atap begitu berani turun dari tangga meski bus masih melaju. Aku langsung membayangkan, dulu waktu aku kecil aku juga tak takut apapun. Mengapa orang dewasa lebih takut dan cenderung mudah khawatir ya?


Setelah menikmati perjalanan yang mendebarkan dan pemandangan yang indah di kanan kiri jurang, kemudian sampailah kami di kawasan wisata Selo Pass. Kami berhenti di sebuah warung, milik Bu Menik yang ramah dan putrinya yang lucu setelah membayar ongkos 6rb. Di warung Bu Menik kami lengkapi logistik kami yang kurang. Bu Menik bercerita kalau banyak pendaki yang mampir ke warungnya, bahkan tengah malam ketika warungnya telah tutup kerap ia ditelpon oleh pendaki yang butuh logistik.

Setelah ngobrol beberapa menit, kami bermaksud melanjutkan perjalanan menuju Base Camp dengan berjalan kaki. Namun kami beristirahat sejenak di sebuah Masjid di samping Pos Polisi Selo tepat di seberang warung Bu Menik. Setelah Solat dan repacking. Kami langsung menuju Base Camp.

Berpapasan dengan orang-orang yang lewat, sungguh nyaman. Mereka ramah-ramah. Meskipun membawa beban mereka tetap menyapa dengan halus.

Tampak Merapi di selatan.

Dan sampailah kami di Base Camp Pak Narto. Rumah terakhir di ujung Desa. Tempat para pendaki beristirahat dan menyiapkan diri sebelum benar-benar memulai pendakian. Rupanya pemilik rumah tidak di tempat. Rekanku sudah mulai lapar lagi, mungkin karena udara dingin membuat kami mudah lapar. Akhirnya kami mencari warung lain, rumah pak Patman yang juga menjadi base camp rupanya menjual makanan, nasi dan telor ceplok plus kerupuk serta teh panas, cukup enak. Sambil ngobrol-ngobrol dengan Pak Patman tentang informasi mengenai pendakian Merbabu kami mulai kedinginan, matahari rupanya hampir tergelincir di barat.

Pantangan yang harus dipatuhi pada waktu mendaki :

Jangan Mengeluh

Hindari kata-kata kotor

Hindari perbuatan mesum

Jangan melamun

Jangan buang air besar atau kecil di daerah yang dikeramatkan

Jangan memakai pakaian warna merah dan hijau


NB: album pendakian Merbabu bisa diklik disini


6 comments:

dhiraestria dyah said...

dan akhirnya kalian jadi mendaki merbabu?
atau jangan-jangan malah memutuskan untuk berselancar di Bali di mana tersedia warnet 24 jam..
:p

RonggoLawe said...

pernah nanya koneksi internet di WARTEL Selo? temenku pernah..:) Kami memutuskan berselancar di savana Merbabu yang lebih menantang....

bulb-mode said...

Beneran ngga, savana di Merbabu 4 jam jalan kaki dari Selo?

RonggoLawe said...

sekitar 4 jam jalan kaki ke Savana, tapi jangan bawa equipment, bawa aja logistik makanan yang cukup...berangkat pagi pulang sore...Sebelum kami ada rombongan kakek2 umur 75 tahun yang sampe puncak dengan cara begitu, tapi pake porter...Pemandangannya asli bagus banget...

Anonymous said...

bro. kliatannya apa yang telah kita lakukan memang tak kan terulang dalam waktu 1000 tahun lagi. mulai dari perencanaan yang improvisasinya keren abiz, pembuatan mie yang gultor pun gak tega makannya hahaha...abis makan mie aku agak tersedak dengan abu rokoknya, hingga perjalanan pulang yang menyebabkanku beberapa kali...seringkali terjun bebas ndelosorr dari ketinggian

RonggoLawe said...

Tiba-tiba aku ingin memancing di danau Rinjani...:)